Ronggowarsito pernah menulis syair tentang sebuah jaman yang disebut jaman edan. Saat dimana terjadi kekacauan segala sesuatu terbolak-balik tidak seperti yang seharusnya.Syair tentang ‘Jaman Kalabendu’ itu barangkali sudah banyak yang melupakan, atau barangkali kondisi yang serba kewolak-walik itu justru sudah dianggap biasa.
Sudah menjadi biasa bagi kita kalau ada laki-laki yang berdandan seperti perempuan, kemayu. Dan biasa pula kalau ada perempuan yang memakai baju atau pakaian laki-laki. Laki-laki suka laki-laki, perempuan suka perempuan juga tak lagi mengejutkan. Istri bekerja, suami urus rumah tangga juga tak lagi menjadi masalah. Di jaman lalu semua contoh-contoh itu bukanlah sebuah kenormalan, tapi saat ini mungkin saja sudah dianggap sebagai kewajaran.
Kalau yang edan sudah dianggap sebagai normal atau biasa-biasa saja maka wajar tidak ada lagi yang bicara soal jaman edan. Justru kalau seseorang tidak ikut edan maka bisa-bisa justru dianggap sebagai tidak waras. Yang waras itu justru yang edan. Adalah tidak waras kalau seseorang yang punya jabatan tidak menggunakan pengaruhnya untuk menolong saudara, kawan dan komplotannya. Pun tokoh politik bakal dianggap tidak waras kalau menolak jabatan yang diberikan sebagai balas jasa dukungan atas pencalonan tokoh lainnya menjadi pemimpin baik daerah maupun nasional. Tak heran kalau kemudian pemimpin yang suka menemui rakyatnya dianggap tidak waras, membuang-buang waktu dan dituding sebagai cari muka.
Menjadi waras berarti memposisikan diri sebagai minoritas, orang pinggiran dan tersisih dari pergaulan umum. Lebih parah lagi kewarasan dianggap sebagai ancaman yang membahayakan mayoritas. Maka mereka yang waras bisa saja dijebak atau dijerumuskan agar kemudian ikut-ikutan menjadi tidak waras. Cerita tentang orang-orang waras yang kemudian masuk dalam pusaran kekuasaan dan ingin melakukan perubahan, tak perlu waktu lama untuk kemudian terjerumus di dasar lubang karena ketahuan berlaku tidak waras, seperti tertangkap tangan menerima suap atau pemberian dari rekanan.
Pemilihan umum baik legislatif, kepala daerah maupun presiden, adalah kesempatan bagi warga juga bangsa untuk mewaraskan diri, mengembalikan kehidupan bersama dalam jalan yang benar. Namun bicara soal momentum, kerap kali lewat begitu saja. Pemilu legislatif yang baru berlangsung beberapa saat yang lalu menunjukkan betapa ketidakwarasan dalam menentukan pilihan atau meraup suara begitu marak terjadi dimana-mana. Pemilih menentukan pilihan berdasarkan ‘Nomor Piro Wani Piro’, sementara peserta pemilu selain menyogok warga untuk memberikan suara, mereka juga menyogok penyelenggara untuk merubah-rubah angka dengan mencuri suara calon atau partai lain.
Apakah momentum pemilu presiden 2014 sebagai wacana untuk mewaraskan kehidupan berbangsa dan bernegara akan bisa dimanfaatkan dengan maksimal?. Harapannya memang begitu, walau dari gejala-gejala yang nampak, ketidakwarasan justru begitu menyeruak semenjak pasangan capres dan cawapres mengemuka.
Di media sosial dengan mudah ditemukan ketidakwarasan para pendukung kedua pasangan untuk meningkatkan keterpilihan pasangan yang didukungnya dan membuat pasangan yang tidak didukungnya menjadi terpuruk. Masyarakat pemilih diajak memilih secara tidak waras, bukan dengan menggunakan akal melainkan lebih mengutamakan emosi untuk menentukan pilihan. Tak heran jika yang diperbincangkan bukan soal kompentensi, kemampuan maupun track records dalam kepemimpinan. Yang banyak menyeruak justru kekurangan masing-masing pasangan, termasuk berbagai macam kekurangan yang dibangun lewat opini dan fitnah.
Ajakan untuk menentukan pilihan dengan waras seolah tenggelam oleh hiruk pikuk dukungan yang begitu fanatik terhadap masing-masing calon entah karena apa. Pemilik mobil Mercy misalnya merasa bahwa Mercy adalah mobil nomor satu, maka tak ada pilihan lain selain mendukung pasangan nomor 1. Pun demikian dengan para pembuat kecap, yang selalu menyatakan kecapnya adalah kecap nomor 1 maka agar konsisten mereka juga menyatakan dukungan untuk pasangan nomor 1. Sementara mereka yang ingat sejarah masa lalu, memilih untuk menyatakan dukungan pada nomor 2 karena dari dulu nomor dualah yang selalu menang.
Mendukung pasangan capres dengan tidak waras mungkin lebih mudah dan tak bakal ada yang mengatakan kalau kita edan meskipun pilihan tidak didasari atas rasionalitas. Sementara memilih dengan cara waras menjadi lebih sulit karena harus mempelajari visi, misi dan program calon, ikut dalam kampanye untuk menyimak paparan dan janji para calon, menonton debat calon, melakukan tracking terhadap calon dan kemudian membuat perbandingan antar calon untuk kemudian dibuat scoring guna menentukan pilihan.
Jadi pilih mana?. Menjadi waras atau tidak?.
Pondok Wiraguna, 1 Juni 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H