Kemarin sore saya berbincang-bincang dengan beberapa kawan tentang kepemiluan. Kami tidak membahas soal capres-capresan, bukan karena takut berbeda pendapat yang kemudian membuat kami saling meng-unfollow di sosial media, melainkan karena perhatian kami bukan pada urusan itu.
Saya dan kawan-kawan mencoba mengatasi perbincangan soal calon presiden dengan melakukan refleksi atas apa yang terjadi dalam pemilu legislatif yang telah berlalu. Refleksi ini penting agar hal-hal buruk yang terjadi dalam pemilu legislatif tidak kembali terjadi dalam pemilu presiden.
“Saat pemilu kampus saya seperti Texas” ungkap seorang kawan dari salah satu sekolah tinggi berbasis agama. “Setiap hari saya diajari soal kebenaran, tapi saat pemilu kebenaran menjadi hilang. Uang diatas segalanya. Pemilu membuat uang berada di atas kebenaran”, lanjutnya dengan nada prihatin.
Singkat ceritanya menjelang pemilu legislatif kampusnya dimasuki partai dan calon tertentu yang mengadakan perjanjian dengan pimpinan. Akhirnya dalam setiap kesempatan, pemimpin kampusnya mengadakan pertemuan dengan mahasiswa dan diakhir pertemuan selalu mengarahkan untuk memilih partai dan calon tertentu. “Kami dilarang memilih partai dan orang lain dari yang dikatakan olehnya”, terang kawan saya itu.
“Semua terjadi di depan mata saya, bagaimana seseorang memberikan uang kepada orang lainnya karena telah memberikan suara”, ujarnya lirih.
“Kecurangan itu bukan kentut, bukan sesuatu yang tercium baunya tapi tak kelihatan wujudnya. Semua nyata tapi tak menjadi apa-apa karena kita membiarkannya, menerima sebagai sesuatu yang wajar”, kata teman lain menandaskan.
Pemilu legislatif memang marak dengan kecurangan, transaksi dan pengelembungan atau bahkan pencurian suara secara terang-terangan. Meski pemilu relatif berjalan dengan lancar dan aman, namun pemilu legislatif sesungguhnya diragukan integritasnya. Ketidakjujuran terjadi dalam berbagai tingkatan.
Karakter pemilu presiden jelas berbeda dengan pemilu legislatif. Pihak yang berebut suara jauh lebih sedikit, pemilih terbagi dalam kelompok yang lebih sedikit. Pola pendekatan terhadap pemilih juga jauh berbeda. Pemilih tidak lagi akan disentuh orang per orang melainkan akan lebih difokuskan pada kelompok. Tak heran jika para capres berlomba-lomba untuk meraup penyataan atau deklarasi dukungan dari berbagai kelompok.
Politik uang juga tidak akan menyasar orang per orangan melainkan bakal didistribusikan lewat elit-elit kelompok. Seorang kawan mengatakan bahwa “Uang dalam pilpres ini tidak akan menetes ke bawah, melainkan hanya akan terhenti di kantong ketua atau pimpinan organisasi/kelompok”.
Tugas dari elit atau pimpinan kelompok adalah memaksa atau memberi perintah, keharusan untuk memilih atau mendukung calon tertentu. Mereka yang membangkang bakal mendapat hukuman dari organisasi dengan alasan loyalitas rendah. Disana sini sudah muncul berita pemecatan terhadap orang tertentu karena tidak mematuhi amanat dari organisasi.
Pemilu presiden juga cenderung rawan dari sisi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Banyak kepala daerah terlibat sebagai tim pemenangan calon presiden tertentu. Dalam kedudukan sebagai kepala daerah maka bisa menguntungkan salah satu pasangan dan merugikan pasangan lainnya. Kepala daerah bisa saja memobilisasi dukungan dari aparat pemerintah untuk mendukung pasangan tertentu.
Kedudukan sebagai kepala daerah bisa juga memberi keuntungan terutama dalam upaya mempengaruhi penyelenggara maupun pengawas pemilu. Kita semua tentu tahu bahwa penyelenggara maupun pengawas pemilu bersifat independen, namun kita juga tahu formasi penyelenggara maupun pengawas pemilu tak lepas dari tangan kepala daerah.
Maka dalam pemilu presiden ini menjadi penting untuk mengawasi, memantau kinerja para pelaksana maupun pengawas pemilu, baik di tingkatan propinsi, kabupaten atau kota hingga kepada panitia di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan.
“Maka menjadi penting kehadiran pemantau pemilu yang independen”, begitu pungkas teman yang sedari tadi hanya diam menyimak. Menurutnya kehadiran pemantau pemilu akan membuat mereka yang ingin berlaku curang menjadi was-was, takut dan kemudian tak jadi melakukan kecurangan.
Tanpa pemantau pemilu, maka demokrasi dan pemilu bertabur dengan ketidakbenaran.
Pondok Wiraguna, 26 Juni 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H