Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hijau di Bukit Biru

29 Juni 2014   23:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hamparan tanah yang dipenuhi dengan pepohonan yang rimbun, seperti hutan di tengah kota sejatinya sudah menarik perhatian saya sejak beberapa tahun yang lalu.  Namun baru beberapa hari yang lalu saya memupuskan kerinduan itu dengan mengunjunginya. Kawasan hijau nan rimbun itu ternyata kepunyaan dari Pak Suhendri, mantan pekerja perusahaan kayu yang kemudian berhenti untuk menekuni agroforestry.

Tahun 1979, Pak Suhendri membeli tanah di daerah bukit biru, waktu itu berharga Rp. 100.000, harga yang kalau di konversi pada saat ini mungkin sudah mencapai milyard-an. Dengan inisatif dan kesadaran sendiri, Pak Suhendri mulai menanam berbagai jenis tanaman keras. Banyak orang menyangsikan apa yang ditanamnya bakal hidup. Namun Pak Suhendri tidak bergeming.

Berbagai jenis tanaman yang dikhawatirkan tidak bisa tumbuh ternyata berhasil dipelihara. Keyakinan dan juga kecintaan yang mungkin saja membuat tanaman itu tak ingin mengecewakan yang menanamnya. Kini selain tanaman pohon tahunan, di lahan Pak Suhendri juga tumbuh teh dan kopi.

Berbincang dengan Pak Suhendri, saya tidak hanya menemukan seorang yang cinta tanaman, melainkan mendasarkan segenap kegiatannya dengan kecintaan terhadap Indonesia Raya, konstitusi, dasar negara dan juga kekaguman yang besar terhadap presiden pertama Ir. Sukarno.

Tak butuh basa-basi untuk mengenal lebih dalam catatan perjalanan hidup dan juga pemikiran dari Pak Suhendri. Siapapun yang datang akan disambut dengan ramah dan satu pertanyaan saja sudah cukup untuk memancing Pak Suhendri berbicara panjang lebar, dari Sabang sampai Merauke.

Semua berawal dari keprihatinan, bahwa kekayaan Indonesia yang maha besar ternyata tak juga mendatangkan kemakmuran untuk banyak rakyatnya. Ketimpangan penguasaan lahan menjadi persoalan yang utama. Menurut Pak Suhendri, tanah adalah modal utama bagi rakyat untuk membangun kehidupan yang sejahtera. Tanpa tanah maka rakyat akan sengsara.

Persoalannya tanah justru dikuasakan kepada para pemilik modal lewat berbagai ijin usaha, yang sebagian besar justru merusak kemuliaan tanah. “Tanah yang digali, dibiarkan dan tidak ditutup lagi pasti tidak akan bisa ditanami. Tidak ada tanaman yang akan tahan ditanam dalam mangkuk berair karena akarnya akan busuk”, begitu penegasan Pak Suhendri tentang banyaknya lubang tambang yang ditinggalkan perusahaan tambang batubara.

Tugas pemerintah adalah memikirkan dan menetapkan kebijakan yang tepat untuk suatu daerah. Dengan demikian akan tercipta ekonomi berbasis rakyat yang komprehensif. “Saya tidak menolak industrialisasi”, katanya.

Tanah Kalimantan menurutnya tepat untuk membangun industri kehutanan, sementara Jawa dan Sumatera lebih tepat untuk pangan. Karaktek tanah Kalimantan cocok untuk ditanami tanaman kayu dan karet. Namun sayangnya pemerintah justru lebih getol mengembangkan industri sawit.

“Sawit boleh saja, tapi jangan terlalu banyak dan dekat dengan perkampungan. Sebab sawit rakus air dan penyeprotan bahan kimia akan larut ke air serta mencemari sumber-sumber air yang dipakai penduduk”, katanya.

“Yang perlu diingat, bumi dan segala isinya bukanlah milih negara atau pemerintah. Mereka dikuasakan untuk mengaturnya agar mendatangkan manfaat bagi masyarakat banyak. Pemerintah dan negara dimandatkan oleh konstistusi untuk mendirikan dan menciptakan sistem ekonomi yang menopang kehidupan rakyat, bukan mencari keuntungan, melainkan membagikan manfaat untuk rakyat banyak”, lanjutnya.

Sekali lagi, Pak Suhendri bukanlah petani kehutanan biasa. Di balik semua yang dilakukan ada dasar pemikiran, cita-cita serta harapan akan terwujudnya Indonesia sebagaimana dicita-citakan lewat kemerdekaan. Apa yang menjadi pemikirannya dengan mudah dibaca di rumah tinggalnya, semua ditulis dalam berbagai medium menghiasi rumahnya yang unik.

Berada di tempat tinggalnya saya merasa seakan kembali ke masa sekolah, mebaca berbagai macam buku pelajaran. Namun yang membedakan dari apa yang saya terima di bangku sekolah adalah tak nampaknya sifat mengurui dari Pak Suhendri. Apa yang dipaparkan dan dipampangkan olehnya adalah sebentuk keprihatinan terhadap perjalanan bangsa yang belum sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Di dinding rumah Pak Suhendri banyak tergantung foto kelompok mahasiswa dari berbagai kampus yang datang belajar. Apa yang dilakukan oleh Pak Suhendri bukan hanya menguntungkan dirinya dan alam di sekitarnya melainkan juga bagi banyak orang di tempat-tempat yang berjauhan. Tak sedikit sarjana, master, doktor dan bahkan profesor yang dilahirkan oleh apa yang dilakukannya. Namun itu tak membuat Pak Suhendri jumawa. Banyak juga penghargaan yang diperoleh oleh daerah berdasar pada ‘klaim’ sepihak atas apa yang dilakukan Pak Suhendri. Namun lagi-lagi Pak Suhendri tak peduli, karena dia melakukan pengembangan agroforestry tidak ditujukan untuk memperoleh pujian. Jika kemudian apa yang dilakukannya membawa manfaat untuk banyak orang, pemerintah daerah dan sebagainya itu dipandang sebagai bonus saja.

Pondok Wiraguna, 29 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun