Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden, Semoga Tak Bermasalah

6 Juli 2014   20:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:15 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang akhirnya akan terpilih sebagai presiden kedua yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Indonesia, itu nanti akan kita ketahui pada tanggal 9 Juli 2014. Bisa dipastikan tak perlu menunggu hingga malam tiba, pada tanggal itu lewat hitung cepat bakal diketahui siapa pemenang perhelatan pilpres 2014 ini.
Pemilihan presiden selalu menarik untuk diamati bukan hanya di Indonesia melainkan di banyak negara lainnya.

Betapa tidak, seseorang yang terpilih itu kemudian akan dianggap bisa menentukan masa depan bangsa dan negara dalam periode kepemimpinan tertentu, ada yang 4 tahun ada yang 5 tahun. Saking pentingnya kedudukan seorang presiden sampai ada pemimpin yang tersohor mengatakan, lebih baik punya pasukan kelinci yang dipimpin oleh singa, ketimbang punya pasukan singa tapi dipimpin kelinci.

Persoalannya justru pada pemilih, bagaimana mereka bisa menentukan pilihan yang terbaik. Bagaimana menilai seorang calon presiden, apa yang penting, visi, misi, program atau karakter?.

Dalam kampanye kandidat presiden dan wakil presiden yang diakhiri pada tanggal 5 Juli 2014, penyelenggara pemilu yakni KPU nampaknya memandang pengenalan visi, misi dan program itu penting sebagai patokan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan. Pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan pengenalan atas visi, misi dan program kandidat disebut sebagai pemilih yang cerdas. Untuk mewujudkan itu maka KPU sebagai penyelenggara pemilu mengadakan acara debat kandidat secara tematis sebanyak 5 kali.

Namun ada pula kelompok lain yang menganjurkan track records atau catatan masa lalunya sebagai dasar utama untuk menentukan pilihan. Calon yang baik adalah calon yang tidak punya catatan buruk di masa lalu, entah itu berupa kasus korupsi, perusakan lingkungan hidup, pelanggaran HAM, menjadi bagian dari rezim yang menindas dan lain  sebagainya.

Perdebatan tentang catatan masa lalu inilah yang banyak mewarnai dinamika menjelang pilpres 2014. Dimana salah seorang calon presiden kerap dikaitkan dengan pelanggaran HAM menjelang lengsernya penguasa orde baru. Silang pendapat soal ini terus terjadi dan tak ada wasit yang menengahi. Sehingga persoalan yang dituduhkan terhadap calon presiden tertentu itu berawal dari gelap dan tetap berakhir dengan gelap.

Soal moralitas juga dipandang sebagai salah satu indikator penting untuk menentukan pilihan. Ini terutama dikaitkan dengan calon yang masih menduduki kursi kepemimpinan gubernur dari propinsi yang terletak di Ibukota Negara. Kesediaannya untuk menerima pencalonan sebagai calon presiden dianggap mengingkari komitment moralnya untuk menyelesaikan kepemimpinannya sebagai gubernur. Dengan mengatakan ya sebagai calon presiden, dianggap telah mengkhianati kepercayaan masyarakat Jakarta yang memilihnya dengan sangat antusias.

Di luar hal diatas, ada juga sebagian orang yang menganggap watak menjadi penting. Presiden akan disebut sebagai pemimpin, maka watak kepemimpinannya menjadi penting. Watak pemimpin digambarkan sebagai sosok yang gagah, berwibawa dan tegas. Sementara seseorang yang gemar blusak-blusuk kesana kemari, bertemu dan berdialog dengan banyak orang untuk mencari jalan penyelesaikan dianggap bukan mewakili watak pemimpin melainkan watak seorang manajer. Mereka yang mendewakan watak kepemimpinan meyakini bahwa institusi TNI-lah yang mampu menghasilkan calon-calon pemimpin terbaik di negeri ini.

Ada banyak orang yang bisa memberi nasehat bagaimana memilih yang baik itu, namun ada banyak kondisi yang menghalangi seseorang untuk bisa memilih secara ideal. Misalnya saja kandidat yang bertarung dalam pemilu misalnya tidak memenuhi kriteria sebagai calon yang ideal. Maka muncul istilah pilihlah yang terbaik dari yang terburuk.

Hanya saja kita tak bisa mengingkari bahwa salah pilih pemimpin akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat banyak. Misalnya saja pemimpin yang kelihatan baik sebelum terpilih namun ternyata kejam begitu menduduki jabatannya. Sejarah juga mengajarkan banyak pemimpin yang mempunyai karakter buruk ternyata justru termahsyur. Buruk dalam soal hubungan dengan perempuan misalnya namun ternyata baik menjalankan kepemerintahannya. Pemimpin yang tidak jujur namun ternyata terpilih kembali, seperti kasus dalam pemilu di Amerika Serikat dimana Clinton yang tidak mengakui affairnya di gedung putih namun terbukti itu ternyata terpilih menjadi presiden USA untuk periode kedua.

Maka bagaimana seorang menentukan pilihan tentu itu hak masing-masing orang. Yang penting untuk dijaga justru proses pemilihan agar berlangsung jujur dan transparan, tidak ada paksa memaksa atau intimidasi untuk mengarahkan orang memilih kandidat tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun