Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gagal Golput

11 Juli 2014   20:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:38 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengenal beberapa teman yang termasuk kategori golputers sejati. Namun tiba-tiba saja menjelang detik-detik terakhir memasuki hari pencoblosan pemilu presiden, status dan kicauan mereka berubah “Akhirnya mantap memilih …”.

Dari pantauan saya atas account social media teman-teman terduga golput itu, hanya ada satu yang orang saja yang tetap kukuh untuk memilih tetap setia menjadi golput. Bisa disebut teman satu ini memang golput bawaan, golput sejak lahir.

Tak cukup waktu bagi saya untuk menanyakan kenapa mereka memilih untuk ‘bertobat’ sebagai golputers. Tapi kalo boleh menduga-duga barangkali mereka ini setuju dengan pernyataan “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan untuk mencegah yang buruk berkuasa’.

Mengharap adanya calon pemimpin yang merupakan kader atau putra terbaik dari bangsa ini rasanya memang susah. Masalahnya untuk menjadi calon presiden misalnya, seseorang harus dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang sekurangnya memperoleh 20% suara dalam pemilu legislatif.

Ada usaha dari beberapa partai untuk menjaring putra-putri terbaik bangsa sebagai calon pemimpin. Misalnya lewat konvensi, namun kalau kemudian partai itu suaranya tak mencapai 20% toh bakalan urung mengajukan pemenang konvesi sebagai calon presiden dari partainya.

Jadi mau tidak mau kita sebagai pemilih harus menganggap calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai atau gabungan partai ke penyelenggara pemilu sebagai orang-orang terbaik untuk memimpin negeri ini.

Ingat ya kita anggap mereka sebagai yang terbaik, itu berarti mereka belum tentu orang-orang terbaik. Saya sendiri yakin masih banyak orang yang lebih baik dari Joko Widodo, Prabowo Subianto, Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla. Tapi mereka bukan orang yang punya akses ke partai, bukan orang yang punya akses ke comblang politik.

Nah kalau tidak ada yang terbaik kenapa teman-teman saya yang golputers itu tiba-tiba saja bertobat. Apakah mereka telah membaca visi, misi dan program para kandidat lalu merasa itu sejalan dengan pemikiran mereka?. Mungkin saja.

Atau mereka kemudian sadar bahwa partisipasi politik harus diwujudkan dengan cara bersikap, mendukung salah satu kandidat sebagai pilihannya. Kemungkinan ini bisa juga, karena beberapa teman tak malu-malu lagi menuliskan status atau kicauan yang menyebut nama kandidat sebagai pilihannya.

Namun kalo boleh menduga-duga, alas an terbesar dari pertobatan kaum golputers adalah mereka melihat ada bahaya yang tengah berkembang dalam proses dan tahapan pemilu presiden kali ini. Bahaya yang kalau tidak dicegah akan berkembang menjadi sesuatu yang menyengsarakan masyarakat banyak di kelak kemudian hari.

Bahaya itu adalah keinginan untuk berkuasa yang terlalu besar. Keinginan yang kemudian diamini oleh kekuatan-kekuatan lain yang juga tidak kalah besar. Gabungan kekuatan ini kemudian menggunakan berbagai alat yang punya jangkauan besar untuk memuluskan tujuannya.

Tak heran jika kemudian atmosfir suhu politik menjadi memanas. Banyak informasi yang bernada fitnah, olok-olok dan gossip beredar di masyarakat luas. Semua kekuatan penyebar warta digunakan termasuk pula di ruang social media. Kepatutan tak lagi diperhatikan, kebenaran hanya menjadi serpihan-serpihan kecil yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kebohongan besar.

Bangsa yang gemar meneriakkan diri sebagai bangsa patriotic, penuh adab dan sopan santun tiba-tiba dipenuhi dengan perilaku-perilaku busuk, kelakuan orang jahat terhadap orang baik. Sifat-sifat yang dibenci dan hendak dikalahkan oleh bangsa ini dalam dunia politik justru diobral tanpa rasa malu.

Kebenaran dijungkirbalikkan, ilmu dipermainkan, orang bersih disebut korupsi, orang beriman disebut kafir, nasionalis dibilang komunis, orang pintar disebut jago plagiat. Sebaliknya para maling dan barisan sakit hati dibilang pejuang negeri.

Di jaman dimana kecepatan dan akurasi menjadi indicator utama kenapa kita mesti menunggu 2 minggu untuk tahu siapa yang menjadi pemenang. Apakah kita sengaja mau menciptakan situasi dua minggu itu agar rebut melulu, sikat sana sikat sini tanpa juntrungan. Kenapa kita tak mengajarkan bahwa sikap seorang pemenang adalah berani mengakui kekalahan. Demokrasi adalah kompetisi, dimana selalu ada yang menang dan kalah. Pemenang adalah yang mampu merebut suara rakyat bukan membumihanguskan negeri.

Karena jadwal, maka saya mesti bersabar untuk menunggu siapakah yang memenangkan pemilu presiden 2014 ini. Namun saya berdoa semoga pilihan teman-teman yang bertobat dari golputers akan mampu mencegah yang buruk memimpin negeri ini.

Pondok Wiraguna, 11 Juli 2014
@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun