Tak heran jika kemudian atmosfir suhu politik menjadi memanas. Banyak informasi yang bernada fitnah, olok-olok dan gossip beredar di masyarakat luas. Semua kekuatan penyebar warta digunakan termasuk pula di ruang social media. Kepatutan tak lagi diperhatikan, kebenaran hanya menjadi serpihan-serpihan kecil yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kebohongan besar.
Bangsa yang gemar meneriakkan diri sebagai bangsa patriotic, penuh adab dan sopan santun tiba-tiba dipenuhi dengan perilaku-perilaku busuk, kelakuan orang jahat terhadap orang baik. Sifat-sifat yang dibenci dan hendak dikalahkan oleh bangsa ini dalam dunia politik justru diobral tanpa rasa malu.
Kebenaran dijungkirbalikkan, ilmu dipermainkan, orang bersih disebut korupsi, orang beriman disebut kafir, nasionalis dibilang komunis, orang pintar disebut jago plagiat. Sebaliknya para maling dan barisan sakit hati dibilang pejuang negeri.
Di jaman dimana kecepatan dan akurasi menjadi indicator utama kenapa kita mesti menunggu 2 minggu untuk tahu siapa yang menjadi pemenang. Apakah kita sengaja mau menciptakan situasi dua minggu itu agar rebut melulu, sikat sana sikat sini tanpa juntrungan. Kenapa kita tak mengajarkan bahwa sikap seorang pemenang adalah berani mengakui kekalahan. Demokrasi adalah kompetisi, dimana selalu ada yang menang dan kalah. Pemenang adalah yang mampu merebut suara rakyat bukan membumihanguskan negeri.
Karena jadwal, maka saya mesti bersabar untuk menunggu siapakah yang memenangkan pemilu presiden 2014 ini. Namun saya berdoa semoga pilihan teman-teman yang bertobat dari golputers akan mampu mencegah yang buruk memimpin negeri ini.
Pondok Wiraguna, 11 Juli 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H