Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Berhitung Cepat

13 Juli 2014   22:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:26 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Televisi terbukti semakin hari semakin ajaib. Tabung bergambar yang sekarang semakin tipis karena teknologi LCD dan kemudian LED ini semakin menjadi rujukan pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat pemirsanya.

Anak saya yang tak tahu apa-apa soal sepakbola, saat ditanya siapa tim yang didukung dalam piala dunia menjawab dengan tegas “Korea Selatan”. Saat dikatakan kalau Korea Selatan sudah pulang, diapun tetap menjawab “Pokoknya Korea Selatan”. Bisa diduga, preferensi anak saya yang baru mau masuk kelas tiga SD Senin depan itu adalah K-Pop yang populer lewat televisi.

Memasuki tahun 2014, yang kerap disebut dengan tahun politik, Televisi semakin ajaib. Elit dan tokoh politik di Indonesia kebanyakan berafiliasi atau bahkan memiliki saluran media penyiaran televisi, entah stasiun tunggal maupun yang telah beranak pinak dalam sebuah group.

Sejak awal tahun layar televisi telah dihiasi dengan berbagai macam acara yang dimaksudkan sebagai iklan politik. Bertabur sosok tertentu yang mewartakan atau diwartakan hendak menjadi presiden atau wakil presiden RI.

Meski badan yang berwenang untuk menyelenggarakan pemilu melarang kampanye prematur, stasiun televisi tidak kekurangan akal untuk menyiarkan tayangan yang bisa dikategorikan sebagai “Kacong” alias kampanye colongan. Bentuknya bisa berita kunjungan sosok tertentu untuk memberikan bantuan sosial misalnya. Atau nebeng hadir dalam acara-acara tertentu yang ratingnya tinggi, seperti kontes idol-idolan. Ada juga yang menjadi bintang dalam acara reality show plus quiz-quiz yang menabur hadiah.

Hingga pemilu legislatif berlalu, sampai dengan munculnya koalisi yang mengusung capres dan cawapres tertentu, di salah satu stasiun televisi pasangan capres dan cawapres dari satu partai masih terus menghiasi layarnya. Andai saja partai mereka memenangkan pemilu legislatif atau mampu mengalang koalisi niscaya pasangan itu akan menjadi pasangan terpopuler di layar televisi.

Setelah pengumuman pemenang pemilu legislatif dimana tidak ada partai yang mampu mencalonkan capres dan cawpresnya sendiri, layar televisi mulai dipenuhi dengan drama menuju koalisi. Gejala-gejala polarisasi stasiun tertentu pada calon tertentu mulai kelihatan. Entah karena mencari omset iklan, entah juga karena keterkaitan stasiun televisi tertentu dengan elit-elit partai yang sedang kasak-kusuk cari jodoh.

Polarisasi menjadi sangat kental ketika akhirnya ada dua pasangan yang didaftarkan dan kemudian ditetapkan oleh KPU menjadi kandidat capres dan cawapres yang akan bersaing dalam pilpres 2014.

Stasiun televisi yang membela calon tertentu akan terus menerus memberitakan jagoannya dengan baik-baik, penuh glorifikasi. Sementara calon yang tidak didukungnya terus dibusukkan. Dicari-cari kesalahannya kalau perlu sampai salah bapak ibu, kakek dan neneknya.

Pertempuran di layar televisi yang meminjam pula mulut-mulut para elit politik dari dua kubu memanaskan suhu politik di Indonesia. Muncul istilah perang badar, sinting, PKI, Komunis dan isu primordial lainnya. Cara wudhu, mengucap salam dan sikap dalam berdoapun disoal.

Dan ajaibnya begitu hari pencoblosan tiba, stasiun televisi yang berbeda kubu, berlomba untuk cepat-cepatan menyajikan data yang biasanya dipakai sebagai cara untuk menentukan kemenangan dengan cepat. Hitung cepat yang biasanya berfaedah untuk memberi kepastian dengan segera berubah menjadi petaka. Stasiun televisi yang terafiliasi dengan masing-masing kubu menyiarkan hasil yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun