Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Suka Berkicau tapi bukan Burung

6 Agustus 2014   20:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:15 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tiga atau empat tahun yang lalu banyak diselenggarakan lomba adu kicau burung. Di permukiman, kanan kiri jalan banyak dijumpai kurungan burung tergantung di beranda rumah. Banyak juga kios-kios makanan burung yang menjual jangkrik dan ulat hidup untuk makanan selingan bagi burung-burung yang pandai berkicau.

Era burung berkicau itu kini nampaknya telah lewat. Entah ini ada hubungannya atau tidak dengan kegemaran orang untuk berkicau di sosial media. Bukan sesuatu yang kebetulan jika media sosial berkembang dengan pesat seiring dengan redupnya kegemaran banyak orang pada burung berkicau.

Awalnya sebagian pengguna internet mengakrabi sosial media dengan menjadi pengguna facebook. Dan benar hingga saat ini facebook adalah situs sosial media dengan jumlah ‘umat’ terbesar di dunia. Namun dengan kemunculan twitter, secara perlahan pertumbuhan facebook menjadi terhambat. Banyak pemakai facebook kemudian juga mengakrabi twitter, plus pemakai internet yang sebelumnya enggan memakai facebook kemudian bersosial media dengan twitter.

Spektrum sosial media kemudian menjadi luas dengan kemunculan situs-situs lainnya seperti instagram, g+, path dan lain sebagainya.  Kini hampir dipastikan para pengguna internet bukan hanya memakai email melainkan juga aktif bersosial media dengan beberapa pilihan utama.

Sosial media yang kerap disebut juga sebagai microblog itu kehadirannya juga mulai menggusur trend blogging yang pada era sebelumnya sempat mewarnai dinamika di internet. Pada jaman jayanya wordpress dan blogspot, pemakai internet yang tidak mempunyai personal blog dianggap ketinggalan jaman. Pengguna blog atau disebut blogger menjadi kelas tersendiri diantara para pengguna internet aktif. Disana sini muncul banyak kelompok blogger dan kegiatan temu blogger yang bertujuan untuk mengairahkan perkembangan dunia teknologi komunikasi.

Muncul banyak blog yang masuk dalam kategori narablog, berisi informasi yang terpercaya dan berguna. Era macroblog juga banyak melahirkan sosok-sosok tertentu yang popular karena karya tulis pada bidang-bidang tertentu.

Jauh hari sebelum penggunaan sosial media menjadi marak, nasehat yang kerap diberikan kepada para blogger adalah konsisten menulis, baik soal waktu maupun fokus tulisan. Tidak perlu setiap hari mengupload tulisan, bisa dua hari sekali, 3 hari sekali atau bahkan seminggu sekali namun yang penting adalah ajeg. Nah, keajegan ini yang bikin masalah, tidak banyak yang mampu bertahan untuk konsisten menulis.

Namun banyak orang sebenarnya ingin menulis, berbagi perasaan, kisah, pengetahuan, kabar dan lain sebagainya. Hadirnya sosial media mempermudah hal itu, cukup satu baris kalimat status dan jadilah orang sedunia tahu. Atau dengan sebuah foto dan banyak orang bakal tahu kita tengah dekat atau berada dimana. Sosial media memang lebih memungkinkan kita untuk berbagi secara real time, lebih cepat ketimbang melalui blog.

Apakah kehadiran sosial media (microblog) kemudian mengubur blogger?. Boleh dikatakan kehadiran sosial media memang menghambat munculnya blogger-blogger baru namun tidak mengubur para blogger lama. Blog tetap berkembang, meski bukan pada kuantitas melainkan pada kualitas. Bertumbuh pula blog komunitas yang membuat para blogger tidak perlu memelihara blognya karena disediakan oleh layanan tertentu. Update tulisan di blog komunitas atau keroyokan semacam kompasiana hitungannya bisa per menit ada artikel baru.

Mereka yang masih setia dengan blog justru lebih beruntung dengan kehadiran sosial media. Kini kebanyakan halaman blog dilengkapi dengan fasilitas share melalui facebook, twitter, g+ dan lain-lain. Dengan demikian penulis blog bisa mempromosikan tulisannya lewat account media sosialnya. Tulisan yang menarik yang dishare lewat account sosial media biasanya juga akan dishare ulang oleh pembacanya sehingga terjadi share bertingkat.

Namun disisi lain ada juga fakta yang menarik yaitu munculnya blog yang justru menjadi kicauan di twitter sebagai bahan utama. Tweet seseorang dikumpulkan dan kemudian menjadi sebuah rangkaian tulisan yang utuh. Blog semacam ini tumbuh seiring dengan tahapan pemilu presiden yang kemudian berakhir dengan memanas saat salah satu calon menolak hasil rekapitulasi nasional yang dilakukan oleh KPU.

Di twitter muncul juga istilah kultwit atau kicauan berseri. Dan kicauan itu kemudian tak sedikit yang dibukukan. Dan beberapa buku yang bahannya adalah kicauan seseorang ternyata laku dan popular di kalangan pecinta buku.

Jadi mau doyan berkicau atau rajin nge-blog semua terserah anda saja. Yang penting sadarilah, kicauan di sosial media bukanlah kicauan burung dalam sangkar yang mengharap jangkrik atau ulat untuk santapan.

Pondok Wiraguna, 5 Agustus 2014
@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun