Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Budaya, dan Sumber Daya Alam : Sebuah Mimpi Tinggal Landas

14 Oktober 2014   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:05 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan Erau yang dulunya adalah upacara dan keramaian saat pengangkatan Raja (Sultan) Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan kemudian diteruskan sebagai perayaan Hari Ulang Tahun Kota Tenggarong di jaman kemerdekaan, budaya Dayak dalam bentuk tarian dan upacara yang merupakan acara tambahan malah terlihat lebih menonjol. Misi dan muhibah kesenian keluar negeri juga menjadikan  kesenian Dayak sebagai andalannya. Namun, simbol-simbol penanda Dayak yang akrab dengan modernitas dalam ruang publik ternyata tak merubah pandangan atau persepsi pemerintah dan masyarakat umum yang tetap mengurung masyarakat Dayak dan kebudayaannya dalam kategori unik dan eksotik. Kesenian Dayak tetap dipandang sebagai kesenian atau kebudayaan pedalaman yang tertinggal jika dibandingkan dengan kebudayaan pesisir.

Berjuang Dalam Senyap

Era otonomi daerah dipakai sebagai momentum oleh masyarakat Dayak untuk bangkit melakukan perlawanan damai terhadap berbagai perlakuan yang meminggirkan mereka selama ini. Muncul berbagai organisasi berbasis masyarakat Dayak. Pemekaran daerah juga melahirkan kabupaten yang bisa diklaim ‘kabupaten Dayak’ seperti Kutai Barat, Malinau dan Tana Tidung serta kemudian akan disusul oleh Mahakam Hulu. Fenomena seperti ini bukanlah hal yang aneh atau ganjil, di pelbagai tempat juga terjadi gejala yang sama. Hanya saja semua ini belum menghasilkan perubahan yang mampu menghapus luka dan derita lama. Kehadiran organisasi berbasis masyarakat, paguyuban yang seharusnya menjadi wadah silaturahmi dan perjuangan bersama, malah berkembang menjadi alat politik dan ekonomi kelompok yang terbatas.  Demikian pula jabatan-jabatan tinggi yang kemudian diduduki oleh putera-putera Dayak ternyata tak juga menghasilkan keberpihakan pada masyarakat Dayak di tingkatan akar rumput.

Mencermati pemberitaan media dari ke hari ke hari, semakin banyak masyarakat melakukan aksi, mengadu kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Kepala Daerah, perihal nasib kehidupan mereka yang tergusur oleh perusahaan tambang dan perkebunan sawit. Situasinya semakin jelas, masyarakat tradisional yang mengantungkan dan mencari hidup dari apa yang ada di lingkungannya terus terdesak oleh kebijakan pemerintah yang mengobral ijin usaha untuk pertambangan dan perkebunan. Peluang pertanian tanaman pangan untuk mengurangi ketergantungan pada daerah lain, dijawab oleh pemerintah bukan dengan mendorong dan mendukung petani lokal melainkan justru dengan mengundang investor lewat proyek Food Estate.

Beruntung hingga saat ini, peminggiran yang terus menerus kepada masyarakat Dayak tidak memunculkan gejolak dan sentimen berlebihan terhadap masyarakat pendatang, meski ada suara-suara dan perasaan masyarakat Dayak yang sebenarnya tidaklah nyaman. Mereka merasa kekayaan daerah, tanah tumpah darah mereka lebih dinikmati orang luar, baik luar Kalimantan maupun luar negeri.

Berkaca pada persoalan yang dihadapi oleh Amai Pesuhu dan warga lainnya di Berambay, perjuangan mereka untuk mempertahankan hak atas pengelolaan tanah melawan korporasi hampir-hampir tidak mendapat sokongan secara sistematik dari organisasi masyarakat sipil yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan[6]. Kalimantan Timur ibarat peternakan organisasi masyarakat sipil pada masa otonomi daerah. Namun sangat sedikit yang benar-benar mau bekerja pada tingkatan akar rumput, melakukan pendampingan dan pembelaan atas hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Era otonomi daerah juga membuat organisasi masyarakat sipil yang dulu di sokong oleh donor-donor luar negeri mulai kesulitan. Akses pendanaan dari donor mulai berkurang atau berpindah fokus. Organisasi masyarakat sipil yang dulu aktif mendampingi, melakukan pengorganisasian dan advokasi kepada masyarakat adat kini sulit diharapkan untuk bisa berada bersama masyarakat secara penuh karena kesulitan sumberdaya, baik dana maupun personel.

Sementara organisasi masyarakat sipil yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat adat justru berada di perkotaan. Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat yang berada jauh dari pusat pemerintah tidak menjadi perhatiannya. Kecenderungannya justru lebih dekat dengan pemerintah dan korporasi agar bisa memperoleh dukungan pendanaan untuk menjalankan roda organisasi. Tak heran jika kemudian ada ungkapan bernada putus asa dan cemooh seperti “Dulu orang-orang berusaha sekuat tenaga menghidupkan organisasi, tapi kini orang beramai-ramai mencari hidup dari organisasi”.

Perjumpaan, Kolaborasi dan Ko-eksistensi

Dalam segala keterbatasannya, perjuangan masyarakat Dayak untuk memperoleh akses dan kontrol yang lebih besar akan pengelolaan sumberdaya alam baik secara kultural maupun struktural secara sporadik terus dilakukan. Upaya untuk memperoleh akses dan kontrol atas sumberdaya alam berpotensi menimbulkan benturan baik vertikal maupun horizontal. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah dan dengan kelompok lainnya termasuk korporasi bisa berkembang dan mewujud dalam kekerasan masif yang akan membuat persoalan semakin sulit diselesaikan.

Beberapa benturan antar masyarakat sempat terjadi di Tarakan, Loa Buah dan Balikpapan meski kemudian bisa diselesaikan. Namun ini membuktikan bahwa potensi konflik antar kelompok masyarakat di Kalimantan Timur adalah besar. Apabila kelompok masyarakat yang sejak semula merasa tidak dibela dan terus menerus terdesak maka bakal kehilangan akal sehatnya dalam mengatasi persoalan sehingga memilih jalan kekerasan.

Potensi konflik terbesar di masa mendatang justru terjadi antara kelompok masyarakat dan koorporasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Dan adalah kecenderungan dari kooporasi untuk menghadapi konflik dengan masyarakat bukan melalui mediasi dan dialog, melainkan justru memakai  kelompok masyarakat yang satu untuk menghadapi kelompok masyarakat lainnya. Korporasi cenderung ingin menyelesaikan persoalan secara cepat dan abai pada kesejarahan serta norma dan budaya masyarakat setempat. Watak dan siasat korporasi yang semacam ini jika tidak diwaspadai sejak dini bakal menebar benih konflik dalam masyarakat, baik ke dalam maupun keluar. [7]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun