Kasus ini membahas tentang seorang perempuan berusia 21 tahun yang kerap dibandingkan dengan orang lain oleh orang tuanya, baik itu dengan saudaranya sendiri maupun teman-teman seumurannya. Perbandingan ini mencakup berbagai aspek, meliputi prestasi akademik, penampilan fisik, serta perilaku sehari-hari. Dalam praktiknya, orang tua sering kali tidak menyadari dampak dari kata-kata mereka ketika membandingkan anak-anak. Misalnya, pernyataan seperti "Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?" atau "Kenapa kamu tidak bisa sebaik temanmu dalam menjaga berat badan?" Kata-kata tersebut bukan hanya sekadar motivasi, tetapi bisa menjadi serangan terhadap harga diri anak.
Akibatnya, ia sering merasa tidak cukup baik, menarik diri dari interaksi sosial, dan menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan emosional, seperti kecemasan dan kesulitan dalam menjalin hubungan. Penelitian oleh Dijkstra & Barelds (2010) mendukung bahwa anak yang sering dibandingkan cenderung mengembangkan kecemasan sosial dan kurangnya keterampilan interpersonal, yang berhubungan dengan rendahnya harga diri. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang lebih positif dan mendukung dari orang tua untuk membantu anak mengembangkan kepercayaan diri dan kesehatan mental yang baik.
Kebiasaan orang tua membandingkan anak dengan orang lain dengan tujuan memotivasi anak justru berpotensi menimbulkan dampak negatif pada kesehatan psikologis anak, terutama dalam hal kepercayaan diri. Menurut Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Festinger (1954), individu yang merasa gagal mencapai standar yang ditetapkan oleh lingkungan sosial cenderung mengalami gangguan kesejahteraan psikologis, seperti rendahnya rasa percaya diri, kecemasan, dan risiko depresi. Kebiasaan ini sering kali dipicu oleh beberapa faktor, seperti harapan tinggi dari orang tua terhadap keberhasilan anak, tekanan sosial yang menuntut pencapaian tertentu, dan kurangnya pemahaman orang tua mengenai dampak psikologis dari perbandingan (Grolnick & Pomerantz, 2009).
Perbandingan sosial yang berlebihan dapat menyebabkan perasaan tidak memadai, terutama ketika anak merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi yang terus-menerus diberikan oleh orang tua. Kondisi ini meningkatkan stres dan risiko gangguan kesehatan mental anak dalam jangka panjang (Triandis, 1995). Selain itu, penelitian lain juga menunjukkan bahwa perbandingan sosial yang berlebihan dapat memicu perasaan inferior yang berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak. Anak yang terus-menerus merasa rendah diri berisiko mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial yang sehat dan mengembangkan keterampilan interpersonal yang baik, seperti yang dikemukakan oleh Harris (1998).
Teknologi dan media sosial juga memperparah masalah ini, karena orang tua sering kali menggunakan pencapaian anak lain yang terlihat di media sebagai tolok ukur untuk membandingkan anak mereka. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi anak untuk memenuhi standar yang mungkin tidak realistis (Chou & Edge, 2012). Dengan demikian, jelas bahwa kebiasaan membandingkan anak, meskipun dimaksudkan untuk memotivasi, memiliki dampak yang jauh lebih kompleks terhadap kesehatan psikologis dan perkembangan sosial anak.
Anak yang sering dibandingkan oleh orang tua biasanya menunjukkan beberapa karakteristik tertentu. Salah satu ciri utamanya adalah rendahnya harga diri, di mana anak merasa tidak cukup baik dan cenderung meragukan kemampuan dirinya sendiri. Rendahnya harga diri ini sering kali berasal dari pesan implisit bahwa mereka tidak memenuhi harapan orang tua (Harter, 1999). Selain itu, anak juga dapat mengalami kecemasan berlebih akibat ketakutan untuk gagal atau mengecewakan orang tua, yang menciptakan tekanan emosional yang besar (Ollendick & Hirshfeld-Becker, 2002).
Kesulitan menjalin hubungan sosial juga menjadi salah satu dampaknya. Anak cenderung menarik diri dari interaksi sosial karena merasa tidak sebanding dengan orang lain, yang berhubungan dengan kurangnya keterampilan interpersonal (Dijkstra & Barelds, 2010). Sebagai respons terhadap perbandingan, beberapa anak mungkin menunjukkan perilaku perfeksionisme yang tidak sehat, di mana mereka berusaha keras untuk menjadi sempurna dalam segala hal agar mendapatkan penerimaan. Namun, perfeksionisme ini sering kali disertai dengan ketakutan berlebih terhadap kegagalan (Frost et al., 1990).
Selain itu, anak yang sering dibandingkan mungkin merasa marah atau tidak diterima, karena mereka merasakan bahwa orang tua lebih menghargai orang lain dibanding dirinya. Perasaan ini dapat berkembang menjadi rasa dendam atau kurangnya rasa percaya pada orang tua (Baumeister et al., 2003). Dalam jangka panjang, risiko depresi juga meningkat, terutama ketika anak merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi yang diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sosial negatif dapat memengaruhi kesejahteraan emosional anak secara signifikan dan berkontribusi terhadap munculnya gejala depresi (Kwan et al., 1997).
Terdapat beberapa tipe perbandingan sosial yang dapat memengaruhi anak-anak, antara lain perbandingan sosial positif dan negatif. Dalam perbandingan sosial positif, individu merasa termotivasi untuk meningkatkan diri setelah melihat orang lain mencapai kesuksesan. Sebaliknya, dalam perbandingan sosial negatif, individu merasa rendah diri dan cemas karena merasa tidak mampu mencapai standar yang ditetapkan oleh orang lain. Dalam kasus ini, perbandingan yang dilakukan orang tua cenderung lebih berfokus pada aspek negatif, yang justru memperburuk keadaan emosional anak dan menurunkan harga dirinya. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa perbandingan sosial negatif lebih berisiko mengarah pada perasaan tidak puas dengan diri sendiri dan depresi (Kwan et al. 1997).
Untuk menangani masalah perbandingan sosial terhadap anak, penanganan yang tepat dapat dilakukan dengan cara memberikan ruang bagi anak untuk berbicara tanpa tekanan, serta mengapresiasi setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh anak, untuk dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri mereka. Menurut Markus & Kitayama (1991), dukungan emosional yang positif dapat mengurangi dampak negatif perbandingan sosial. Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dapat diterapkan untuk membantu anak mengubah pola pikir negatif dan membangun kepercayaan diri. Selain itu, anak bisa mengikuti bimbingan konseling untuk mengembalikan rasa percaya dirinya. Penanganan ini  membantu anak merasa diterima dan dihargai, sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan psikologis mereka. Orang tua juga perlu mendapatkan edukasi tentang cara memahami dan memperhatikan anak dengan tepat, agar anak dapat berkembang lebih baik tanpa tekanan. Dengan demikian, orang tua bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak mereka dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan psikologis yang sehat. Edukasi terhadap orang tua tentang pentingnya dukungan positif dapat membantu mencegah dampak negatif dari perbandingan sosial yang berlebihan (Grolnick & Pomerantz, 2009).
Melalui terapi dan dukungan sosial yang memadai, anak akan mengembangkan rasa percaya diri yang lebih kuat, memperbaiki kualitas hubungan sosial, dan mengatasi kecemasan serta gejala emosional lainnya. Dalam jangka panjang, anak diharapkan mampu menghadapi tekanan sosial dengan lebih baik, menemukan kepuasan pribadi, dan hidup tanpa terbebani oleh perbandingan. Dengan penanganan yang tepat, diharapkan anak dapat pulih sepenuhnya dari dampak negatif perbandingan sosial. Â Penerapan pendekatan penguatan positif akan mempercepat proses pemulihan dan meningkatkan kualitas hidupnya secara menyeluruh.
Kesimpulannya bahwa membandingkan anak dengan teman atau saudara dengan tujuan memotivasi sering kali memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental dan perkembangan psikologis anak. Praktik ini dapat menyebabkan rendahnya rasa percaya diri, kecemasan, stres, hingga depresi, terutama ketika perbandingan sosial yang dilakukan bersifat negatif (Festinger, 1954). Anak yang sering dibandingkan cenderung merasa tidak memadai, mengalami kesulitan menjalin hubungan sosial, dan mengembangkan pola pikir perfeksionis yang tidak sehat (Harter, 1999; Frost et al., 1990). Selain itu, harapan tinggi orang tua, tekanan sosial, serta pengaruh media sosial turut menjadi faktor pemicu perbandingan sosial yang merugikan (Grolnick & Pomerantz, 2009; Chou & Edge, 2012).
Sebaliknya, pendekatan yang lebih positif, seperti memberikan dukungan emosional, apresiasi terhadap upaya anak, dan membantu anak membangun kepercayaan diri, terbukti lebih efektif dalam mendukung pertumbuhan psikologis yang sehat (Markus & Kitayama, 1991). Terapi kognitif-perilaku (CBT) dan bimbingan konseling juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi dampak negatif perbandingan sosial (Dijkstra & Barelds, 2010). Orang tua perlu memahami bahwa perbandingan yang berlebihan bukanlah alat motivasi yang efektif, melainkan dapat menjadi sumber tekanan emosional yang besar bagi anak (Triandis, 1995). Dengan mengedepankan empati dan penguatan positif, orang tua dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak secara optimal.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Â
Baumeister, R. F., Smart, L., & Boden, J. M. (2003). The dark side of high self-esteem: Self and social outcomes. Psychological Review, 130(1), 34--52.
Chou, H. G., & Edge, N. (2012). "They are happier and having better lives than I am": The impact of using Facebook on perceptions of others' lives. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2), 117--121.
Dijkstra, P., & Barelds, D. P. H. (2010). Comparing the self to others: Social comparison motives in interpersonal relationships. Personality and Individual Differences, 49(8), 861--866.
Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), 117--140.
Frost, R. O., Marten, P., Lahart, C., & Rosenblate, R. (1990). The dimensions of perfectionism. Cognitive Therapy and Research, 14(5), 449--468.
Grolnick, W. S., & Pomerantz, E. M. (2009). Issues and challenges in studying parental control: Toward a new conceptualization. Child Development Perspectives, 3(3), 165--170.
Harris, J. R. (1998). The nurture assumption: Why children turn out the way they do. Free Press.
Harter, S. (1999). The construction of the self: A developmental perspective. Guilford Press.
Kwan, V. S. Y., Bond, M. H., & Singelis, T. M. (1997). Pancultural explanations for life satisfaction: Adding relationship harmony to self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 73(5), 1038--1051.
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224--253.
Ollendick, T. H., & Hirshfeld-Becker, D. R. (2002). The developmental psychopathology of social anxiety disorder. Biological Psychiatry, 51(1), 44--58.
Triandis, H. C. (1995). Individualism and collectivism. Westview Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H