Mohon tunggu...
Yustina Ari Listiyanti
Yustina Ari Listiyanti Mohon Tunggu... Wiraswasta - paramedic vet, bakul telur, traveller

Seorang yang pernah mengenyam ilmu kesehatan hewan dan agribisnis peternakan. Interest dengan dunia menulis sekaligus segala sesuatu tentang agribisnis, penjelajahan, perjalanan wisata, lingkungan hidup, fotografi, film serta tentang budaya manusia yang membawa pada keanekaragaman khasanah ilmu pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Fisik Manusia Sudah Lelah Tangani Wabah

13 Juli 2021   10:04 Diperbarui: 13 Juli 2021   10:08 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali saat ini merupakan saat tersulit dan terberat bagi manusia dan alam semesta. Beban wabah kian bertambah. Tidak berkurang, tapi malah semakin melonjak. 

Dilansir dari detikcom, Senin 12 juli 2021, kasus positif covid 19 di Indonesia bertambah 40.427 kasus dan total sudah menembus angka 2.567.630. Sungguh, rekor baru lagi. Rekor yang buruk. Pun alam juga merasakan getirnya pandemi. Sampah masker, sampah APD, sampah plastic mulai merangsek ke bumi pertiwi. 

Tapi apa mau dikata lagi. Yang terpenting sekarang adalah menjaga dan mengusahakan agar manusia tetap bisa bertahan dan hidup. Meskipun akhir-akhir ini antrian ambulance pembawa jenazah covid 19 antre menuju peristirahatan mereka yang terakhir. Sirine nya pun meraung-raung menambah ramainya jalanan. Ya, meski sebenarnya jalanan kini tak seramai dahulu, seiring dengan adanya PPKM darurat. Lengang, sunyi, manusia terkunci, merintih dalam sanubari.

Seiring sejalan dengan antrinya ambulance di pemakaman, rumah sakit-rumah sakit tak sanggup lagi menerima pasien. Banyak yang dirawat. Banyak yang sekarat. 

Membludak, hingga sampai ada yang harus dirawat di tenda-tenda darurat. Ramai-ramai vitamin dan obat antivirus diburu masyarakat. Juga oksigen-oksigen yang semakin susah menemukannya. Anjuran menggunakan double masker pun mengudara. Anjuran ini untuk mencegah penyebaran covid 19 dengan lebih optimal. 

Dilansir dari kontan.co.id, persentase partikel yang terblokir jika seseorang menggunakan masker medis yang dilapisi masker kain bisa mencapai 85,4%. Masyarakat semakin kewalahan, tapi tetap harus waspada, tak boleh ada celah lengah, meski sebenarnya sudah jengah. Tetapi  lelah fisik itu pasti ada. Apalagi mereka yang setiap hari berjibaku dengan pasien-pasien covid dan jenazah-jenazah covid. 

Dokter, perawat, tenaga kesehatan, penggali kubur, petugas pemulasaran jenazah, sopir ambulance. Bagaimana tidak, demi raga yang lain seperti lirik lagu Eka Gustiwana, mereka terjaga sepanjang waktu. Jerih lelah yang tak ternilai , berkorban tanpa suara. Bukan hanya untuk yang masih hidup dan dirawat saja, tapi juga untuk raga orang-orang yang sudah berpulang yang harus diperhatikan secara layak dan pantas.

Seperti sedikit pengalaman saya dan suami seminggu yang lalu saat ada rekan yang meninggal saat isoman. Beliau isoman bersama anak dan istri yang juga positif. 

Saat itu suami ikut mengurusi pemakaman beliau secara daring by phone karena jelas tidak mungkin untuk datang ke rumah duka. Betapa saat itu mencari peti sedikit mengalami kesulitan, karena peti khusus covid di area Surabaya sudah ludes malam itu. 

Akhirnya suami memesan peti yang lebih mahal untuk beliau. 5 juta. Kemudian karena terlalu malam menghubungi pihak TPU di Sidoarjo, jenazah beliau harus "bermalam" terlebih dahulu di rumahnya. Saya dan suami waktu itu membayangkan, betapa rasa sedih dan sunyi pasti menyelimuti istri dan anaknya yang terjaga disitu. 

Terjaga di samping suami, terjaga di samping ayah tercinta. Istri dan anak yang juga terpapar covid 19. Karena jelas tidak ada tetangga atau sanak yang lain yang berani dan memang tidak diperbolehkan untuk mendekat ke rumah tersebut. Apalagi masuk ke dalamnya. Hanya satgas covid dengan APD lengkap yang sudah membantu meski tidak menginap.

Saat ini, mungkin 270 juta penduduk Indonesia dan seluruh penduduk dunia akan bertanya "kapan pandemic covid 19 ini akan berakhir?" Tidak ada yang tahu. Atau Negara tetangga kita Singapura yang akan "hidup berdampingan" dengan virus corona ini. Tak perlu mencontek Negara lain, karena setiap Negara punya beban masing-masing dan cara penanganannya pun masing-masing. Pemerintah kita yang sudah berupaya menekan penyebaran corona dengan segala upaya, hendaknya kita dukung. 

Saya yakin dan percaya bahwa kebijakan yang mereka buat bukan untuk menyengsarakan warganya, tapi demi kebaikan semua. PPKM darurat dan vaksinasi adalah upaya dan ikhtiar menuju kebangkitan bersama. 

Para garda depan selalu berjaga. Masyarakat musti "berpeluk erat" dalam perilaku sejiwa dan sehati supaya pandemic ini segera pergi. Dan saat fisik manusia sudah maksimal mencapai titik lelahnya, maka sudah seharusnya ada lantunan doa yang musti terselip didalamnya. 

Ada tangan yang tengadah memohon ampunanNya. Ada mata yang terpejam berlindung di bawah pelukNya. Ada mulut yang berucap memanggil namaNya. Ya, manusia musti berpasrah tapi bukan menyerah dalam wabah, melainkan harus rajin berbenah dan bertengadah.

Dan rupanya Minggu 11 Juli 2021 pukul 14.00, segenap doa dari setiap agama di Negara kita bersatu dalam Pray from Home. Setiap lantunan harapan dan doa dipanjatkan penuh khidmat. Ada rasa haru menyelinap. Seperti sedang berjalan dalam gelap. Kiranya Tuhan yang Maha Kasih dan Maha Pemurah berkenan mendengar rintihan umatNya. Menghalau pandemi dari bumi ini. Melawat semesta yang sedang terluka.

Tetap bersemangat, sehat dan kuat. Tidak menyerah tetapi berbenah dan tengadah.  

Sumber : tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden
Sumber : tangkapan layar Youtube Sekretariat Presiden

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun