Pesarean Gunung Kawi, Akulturasi Jawa dan Cina yang Tetap Lestari

Perjalananku kali ini sampai di sebuah tempat yang konon katanya banyak orang dari berbagai kalangan dan mungkin saja datang dengan membawa masalah, (atau mungkin mencari masalah), mencari kedamaian, dan jalan keluar secara gaib. Tempat itu adalah Pesarean Gunung Kawi. 

Konon, ketenaran tempat ini sudah terdengar sampai ke mancanegara. Mereka datang dengan berbagai kebutuhan untuk dipenuhi. Banyak orang akhirnya mengatakan bahwa mereka datang untuk mencari pesugihan. Ya, pesugihan. Suatu bentuk pengabdian terhadap sesuatu yang gaib dan mewajibkan sang penganut memberikan persembahan agar kebutuhan untuk bergelimang harta menjadi terpenuhi, tak habis-habis.

Jujur saja, saya tidak tertarik dengan pesugihan yang banyak orang katakan itu. Saya hanya datang ke sana untuk memenuhi rasa penasaran saya mengenai bagaimana merasakan secara langsung "aroma keistimewaan" Gunung Kawi. Soal benar tidaknya pesugihan itu, saya tidak berani mengatakan.

Area pesarean Gunung Kawi itu terletak agak menjorok ke dalam, mungkin memang dibuat seperti itu karena mengharuskan berada tempat yang sepi dan asri. Dari parkiran mobil, saya menuju ke area yang dimaksud dengan berjalan kaki melewati pos penjagaan, kemudian rumah-rumah penduduk, sebuah motel, warung makan dan beberapa warung pernak-pernik. 

Dalam masa pandemic seperti sekarang ini, para penjaga tetap mengedepankan yang namanya protocol kesehatan. Cuci tangan dulu lalu cek suhu tubuh. Mantaplah. 

Yang saya agak kaget, rupanya di sepanjang jalan menuju pesarean terdapat banyak pengemis berjejer di pinggir jalan, meminta-minta. Tidak hanya satu dua, tapi asli, banyak gaes.

Saya pikir, mereka cukup pintar untuk mencari rezeki, bertempat di mana orang-orang mencari berkah, tentu saja banyak yang akan memberikan sedikit berkahnya kepada orang-orang yang kurang beruntung seperti mereka.

 Di sebelah kanan jalan berdiri sebuah masjid yang cukup besar. Banyak orang yang menunaikan sholat disana, pada waktu itu skitar pukul 13.00 WIB. Kemudian berjalan ke arah utara (menurut saya itu arah utara.. hehe) banyak pedagang bunga setaman menawarkan keharuman bunganya kepada setiap yang lewat di depannya. 

Di seberang para bakul kembang itu, berdiri megah bangunan klenteng bernuansa merah, lengkap dengan lilin -- lilin tinggi besar menjulang. Di sisi sebelah kanan klenteng, terdapat bangunan ciam si. 

Kalo Anda ingin sekedar mencari tahu atau kepo dengan apa yang akan terjadi dengan hidup Anda kelak, coba saja masuk kesana, mengocok semacam bamboo yang bertuliskan nomor, kemudian kocok hingga keluar satu bamboo. 

Mintalah pada penjaga ciam si untuk membacakan apa maksud dari nomor yang keluar tersebut. Yah, percaya ga percaya sih. Semuanya tergantung dari seberapa dalam kepercayaan Anda. Sssttt, btw saya juga nyoba dan hasilnya,,, rahasiaaa.. hehehehe.

Klentheng / dokpri

klentheng di pesarean gunung Kawi / dokpri

Meninggalkan klenteng dan ciam si, saya berjalan ke atas, lewat sebuah pintu gerbang, kemudian melewati beberapa anak tangga. Disitu lah saya disambut dengan keteduhan pohon dewandaru, yang berada dalam sebuah pagar yang mengelilinginya. Konon, jika Anda kejatuhan salah satu bagian dari pohon, misal daun, ranting atau buah, maka Anda akan mendapat kekayaan. 

Dewandaru sendiri artinya pembawa pesan dari para dewa. Dari namanya aja udah kelihatan wow banget ye kan. Maknanya begitu dalam. Pesan dari para dewa. Untuk siapa? Tentu untuk manusia yang masih menjelajah alam semesta ini. 

Eitsss, bagian apapun yang jatuh dari pohon dewandaru itu harus didapat dengan secara tidak sengaja lo. Artinya jangan mendapatkannya misalnya dengan cara menggoyang-goyangkan pohonnya supaya jatuhlah daunnya. Jadi kalo dibayangkan, biarkan daun atau ranting atau buahnya jatuh dengan memilih kepada siapa ia akan jatuh. Hmmmm.

Ciam si di area klentheng / dokpri

para penjual bunga setaman / dokpri

Di belakang pohon dewandaru itu terdapat  sebuah bangunan seperti joglo tapi tertutup, di dalamnya lah terdapat sebuah makam, yang dipercaya sebagai makam Mbah Jugo atau Eyang Jugo yang dikenal sebagai pengawal Pangeran Diponegoro. Pada saat saya datang, sedang berlangsung tahlilan di dalam joglo tersebut.

Nah, dari sini saya mulai sadar bahwa ini menarik. Perpaduan budaya Jawa dan Cina yang menyatu dalam satu frekuensi. Bunyi lonceng klentheng dan suara orang mengaji, meski berjauhan tapi rasanya menyatu dalam satu nada. Nada kepada Sang Khalik, pemilik kehidupan ini.

pintu gerbang ke area pemakaman jika dilihat dari bagian dalam / dokpri

toko-toko penjual pernak-pernik dan peralatan ritual / dokpri

Peristiwa ini menggambarkan bahwa perbedaan keyakinan tidak menghilangkan esensi dari menyatukan diri dengan Sang Pencipta. Selalu ada media yang digunakan untuk menuju pada kebatinan dan kedekatan dengan Sang Pemelihara Kehidupan. Yang jelas, hanya kepada Tuhan saja kita boleh meminta dan bersandar serta berlindung dari hiruk pikuk dunia ini.

Tetap terberkati.