Ada yang sangat berbeda dengan Malioboro pada tanggal 18 Juni 2019 kemarin. Tentu Bapak Ibu sekalian sudah mendengar kabar bahwa kemarin, Pemkot Yogyakarta melakukan uji coba penataan kawasan semi pedestrian di kawasan Malioboro dan memberlakukan larangan kendaraan bermotor (kecuali Bus Trans Jogja, truk sampah, ambulans) untuk memasuki kawasan ini.
Siang ini saya kepo dan menikmati waktu istirahat kantor dengan berjalan-jalan di Malioboro, "ngiras pantes" sambil melihat uji coba penataan ini. Suasananya memang sangat berbeda, bahkan berbeda juga dengan tiap Selasa Wage ketika PKL di Malioboro diliburkan dan mereka kemudian melakukan kegiatan bersih-bersih bersama.
Dari ujung paling utara Jalan Malioboro, sebuah spot yang selama ini ikonik untuk berfoto, (karena ada tulisan Jalan Malioboro di sana, Bapak Ibu sekalian pasti tahu spot ini), sudah dijaga petugas dari Dishub dan dipasang pagar pembatas agar kendaraan bermotor tidak masuk.
Seorang jurnalis lokal nampak sedang melakukan laporan pandangan mata di kawasan yang terkenal dengan macetnya ini terutama ketika musim liburan. Memasuki koridor pertokoan, suasana betul-betul menjadi lengang, koridor ini biasanya menjadi gang senggol bagi wisatawan karena dipenuhi PKL yang menjajakan aneka rupa souvenir, makanan dan sebagainya yang khas Yogyakarta.
Kekhawatiran mereka memang masuk akal, karena apabila kawasan Malioboro menjadi sepi karena pemberlakukan larangan bagi kendaraan bermotor, maka omzet mereka akan terpengaruh.
Namun demikian, pihak yang pro tentu saja menyambut kebijakan ini. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, Yogyakarta mengalami pertumbuhan kepadatan lalu lintas yang luar biasa (bahkan menduduki peringkat 4 kota dengan predikat macet menurut salah satu lembaga survei di Indonesia), sehingga kenyamanan kehidupan perkotaannya berkurang.
Perkembangan dan pertumbuhan kota yang semakin pesat memang membuat munculnya banyak permasalahan, termasuk salah satunya adalah keadaan kota yang tak ramah pejalan kaki.Â
Faktor kepadatan kota yang terus meningkat diyakini menjadi penyebab utama yang sering membuat munculnya problem kota yang tak ramah bagi pejalan kaki. Permasalahan ini tentu tidak bisa dibiarkan. Hal ini dikarenakan kota yang tak ramah pejalan kaki membuat tingkat kenyamanan jadi menurun.
Menilik kawasan Malioboro yang merupakan ikon Kota Yogyakarta, maka keempat syarat tersebut sebenarnya bisa dipenuhi, maka tak salah bila Pemkot Yogyakarta berusaha melakukan penataan dan membuat kawasan Malioboro menjadi kawasan ramah pejalan kaki.
Pemerintah daerah juga harus menunjukkan komitmen serius terhadap layanan transportasi publiknya, sehingga menjadi solusi andalan untuk mengurai persoalan kemacetan dan untuk persoalan-persoalan perkotaan lainnya di Kota Yogyakarta dan kawasan lainnya. Salam kota ramah pejalan kaki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H