Transportasi publik sejatinya bisa dianggap sebagai gambaran bagaimana kota memperlakukan warganya, apakah memanusiakan atau sebaliknya. Kota-kota di Indonesia, terutama kota-kota besar, saat ini sedang menghadapi persoalan besar dengan sistem transportasi perkotaannya. Jumlah populasi yang terus meningkat berimbas pada melebarnya wilayah perkotaan dan mendesak wilayah-wilayah hinterland di sekitar inti kota.
Kebutuhan untuk mobilitas orang dan barang kini juga meningkat, berbanding lurus dengan jumlah pertumbuhan penduduk. Seringkali, pemerintahan daerah masih gagap dan terlambat mengantisipasi transformasi ini. Banyak kota berupaya mengadakan transportasi massal untuk warganya, namun kenyataan di lapangan, permintaan masih lebih tinggi dari ketersediaan layanannya. Akibatnya jelas, mobilitas terganggu yang berdampak luas antara lain terhadap persoalan kota hingga kerugian secara ekonomi dan sosial.
[caption caption="Tempat parkir sepeda dekat halte (dok.pri)"][/caption]
[caption caption="Halte Trans Jogja SMP 5 (dok.pri)"]
Kota Yogyakarta juga tidak luput dari persoalan seperti ini. Meski pemerintah kota Yogyakarta telah berupaya menyediakan layanan transportasi publik, ternyata lebih banyak testimoni kecompang-campingan kebijakan yang terkait dengan sarana tersebut.
Melalui PT Jogja Tugu Trans, kota Yogyakarta menyediakan layanan jasa transportasi dengan Bus Rapid Transit (BRT) yang bernama Trans Jogja yang dicanangkan oleh Departemen Perhubungan sejak tahun 2008. PT Jogja Tugu Trans adalah konsorsium dari 4 (empat) koperasi pengelola transportasi umum kota dan pedesaan di Kota Yogyakarta, yaitu Koperasi Pemuda Sleman, Kopata Yogyakarta, ASPADA dan Puskopkar dan Perum Damri.
Keberadaan Trans Jogja ini tentu menjadi harapan besar bagi warga kota. Pengoperasian bus kota lama yang tidak diremjakan kembali menjadi salah satu alas an diandalkannya Trans Jogja ini. Armada Trans Jogja yang dilengkapi dengan AC ini beroperasi setiap hari mulai pukul 05.30 - 21.30 WIB dan melayani 6 rute khusus yang beberapa diantaranya tidak dilalui bus kota. Seperti layaknya Trans Jakarta, Trans Jogja juga memiliki halte yang tersebar di berbagai tempat. Sedangkan pembedanya adalah Trans Jogja tidak memiliki koridor khusus seperti Trans Jakarta, melainkan masih bercampur dengan kendaraan lainnya. Kapasitas penumpang Trans Jogja adalah 20 penumpang duduk dan 20 penumpang berdiri.
[caption caption="Selalu penuh pada jam kerja dan sekolah (dok.pri)"]
Siapapun yang hendak naik Trans Jogja wajib membeli tiket single trip seharga Rp 3.600. Tiket ini bisa digunakan untuk naik Trans Jogja kemanapun dan selama apapun. Jika kita turun di satu halte kemudian transit ke armada lain, kita tidak perlu membayar lagi. Namun hal ini tidak berlaku jika kita berganti halte. Bagi siapapun yang hendak berlama-lama di Jogja, ada baiknya untuk membeli tiket berlangganan dengan sistem isi ulang mulai dari Rp 15.000, Rp 25.000, Rp 50.000, dan Rp 100.000. Selain itu, jika kita pindah halte dengan jarak waktu kurang dari 1 jam sejak pertama kali naik Trans Jogja maka tidak akan dikenai biaya. Untuk membeli tiket langganan ini kita harus mengisi data diri terlebih dulu di halte-halte khusus yang bertanda POS (Point of Sales).
Namun demikian, setelah 7 tahun beroperasi di Kota Yogyakarta, mulai banyak keluhan dan catatan terhadap pelayanannya.
- Armada Trans Jogja tidak beroperasi pada koridor khusus, artinya, sistem pengoperasiannya bercampur dengan kendaraan lain di jalan raya. Ini mengakibatkan tidak efisiennya waktu tempuh dari armada tersebut, mengingat kini, kepadatan dan kemacetan lalu lintas melanda Kota Yogyakarta. Apabila armada Trans Jogja bisa dijalankan pada koridor khusus dan menjamin ketepatan waktu, bukan tidak mungkin, warga akan semakin antusias untuk menggunakan jasanya. Pernah saya iseng mencoba, dari tempat tinggal saya ke terminal Giwangan, ternyata memakan waktu hampir 2 jam, padahal saya masih harus menempuh perjalanan luar kota. Berdasar pengamatan saya, hal ini terjadi karena kepadatan lalu lintas terutama ketika peak hour.
- Jumlah armada Trans Jogja belum ideal untuk jumlah warga kota dan cakupan luas wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya. Kebanyakan trip Trans Jogja adalah di pusat kota, itu pun belum terlalu efisien menjangkau seluruh sudut kota. Dampaknya adalah, jarak antar trip Trans Jogja menjadi terlalu lama. Inilah alasan kenapa sebagian besar orang kemudian malas menggunakan bus ini karena tidak sabar menunggu kedatangannya apalagi bila perlu berganti-ganti trip untuk ke suatu tujuan. Saya sering berandai-andai, mestinya jangkauan layanan Trans Jogja ini direncanakan sejak awal menjadi semacam loop line melalui ringroad yang mengelilingi Kota Yogyakarta, sehingga jangkauannya bisa mencapai Sleman, Kulon Progo dan Bantul, dan bahkan Gunung Kidul, dimana tiap wilayah tersebut memiliki feeder khusus yang terhubung dengan loop line Trans Jogja di ringroad.
- Minim perawatan. Sepertinya, perawatan selalu menjadi kata kunci bagi suksesnya sebuah sistem atau tidak. Perawatan memang tidak semudah investasi, apalagi bila sudah berbicara tentang waktu pemakaian yang kaitannya dengan suku cadang bus dan sebagainya. Bus Trans Jogja sering mendapat sorotan dari warga karena asap hitam knalpotnya dianggap menjadi sumber polusi kota
[caption caption="Keluhan pembaca di harian lokal (dok.pri)"]
4. Isu pelayanan. Memang ada sisi positif dan negatifnya. Pelayanan Trans Jogja dilakukan dengan menempatkan operator di halte yang membantu penumpang untuk mengetahui nomor bus dan rute yang dilaluinya. Hal ini cukup membantu, terutama bila dibandingkan dengan BRT yang tidak memakai operator di haltenya, misalnya pelayanan Batik Solo Trans Kota Solo. Keberadaan operator juga bermanfaat untuk membantu perawatan halte, misalnya kebersihan, bebas vandalism dan sebagainya. Pelayanan juga mencakup cara sopir mengendalikan kendaraan. Beberapa kali saya membaca, cara sopir mengemudikan bus mendapat kritikan karena berperilaku ugal-ugalan di jalan sehingga membahayakan keselamatan penumpang. Terkait persoalan tarif Transjogja yang kini berharga Rp. 3.600, 00 per trip, ada yang lucu menyoal tempelan di halte bus yang menyatakan bahwa mereka tidak menyediakan kembalian berupa uang receh dan calon penumpang diharapkan membayar dengan uang pas. Ketika saya iseng nanya operator, mereka menyalahkan harga BBM yang fluktuatif sehingga muncul besaran tarif Trans Jogja dengan angka yang nanggung itu.
[caption caption="Bayarlah dengan uang pas (dok.pri)"]
Demikianlah sebenarnya Bus Trans Jogja (sempat) diharapkan menjadi moda transportasi andalan kota Jogja. Apalagi bus kota yang ada saat ini, yang beroperasi sudah sejak tahun 1990an belum (atau tidak) diremajakan kembali, kecuali hanya “casing”nya. Kini juga muncul gagasan dari Waikota Jogja, Haryadi Suyuti yang mewacanakan bajaj sebagai moda transportasi alternatif di Kota Jogja. Alangkah baiknya, apabila Trans Jogja ini dibenahi dulu dan tidak memunculkan wacana alternatif public transport yang justru mendapat cibiran dari warga karena Jogja sudah cukup macet dan perlu segera diantisipasi segala persoalan akibat kepadatan dan kemacetan lalu lintas di pusat kotanya.
[caption caption="Bus kota di Yogyakarta - kalo naik bisa sakit kepala (dok.pri)"]
[caption caption="Angkutan dari Kopata Yogyakarta - sejak tahun 90an dan hanya berganti "casing" saja (dok.pri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H