Unttk mengurangi peredaran emisi gas buang di perkotaan, Gub. Jateng mengeluarkan Kep. Gub. Jateng No. 55/54 Tahun 2015 tentang Penerapan Hari Bebas Kendaraan Bermotor bagi Instansi Pemprov. Jateng Tahun 2015-2020.
[caption caption="Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah tentang pemberlakuan hari bebas kendaraan bermotor (dok.pri)"][/caption]
[caption caption="halaman lanjutan (dok.pri)"]
Â
[caption caption="halaman 3 (dok.pri)"]
Polusi kota yg disebabkan asap knalpot kendaraan bermotor sudah mencapai angka di atas 70%. Angka polusi ini menjadi keprihatinan tersendiri, maka diperlukan suatu tindakan dan terobosan agar kondisi lingkungan tidak semakin buruk. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Pemprov Jawa Tengah adalah dengan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur di atas yang mulai berlaku tahun 2015 hingga tahun 2020. Harapan sebenarnya bisa berlanjut terus meski sudah berganti rezim pemerintahan.
Dalam SK gubernur tersebut, setiap hari Jumat, baik Pegawai Negeri Sipil maupun Non Pegawai Negeri Sipil di lingkungan SKPD Pemerintah Propinsi Jateng tidak menggunakan sarana transportasi kendaraan bermotor pribadi dan kendaraan bermotor dinas.
Namun ada perkecualian jika ada tugas di luar lingkungan kerja Pemprov. Jateng dan sudah mendapatkan persetujuan dari atasan. Ketentuan ini diberlakukan tiap Jumat minggu ke-4 pada triwulan pertama, kemudian pada Jumat minggu ketiga dan keempat pada triwulan berikutnya dan berlaku setiap hari Jumat pada triwulan ketiga.
Kebijakan ini cukup unik dan bisa mengurangi kendaraan bermotor jika disertai dengan ketersediaan sarana angkutan umum yang memadai melewati instansi SKPD Pemprov. Jateng. Juga perlu disediakan halte setidaknya 4 unit di Jl. Pahlawan yang dihuni cukup banyak instansi SKPD Pemprov. Jateng, sehigga memudahkan pegawai Pemprov Jateng untuk konsisten mendukung kebijakan ini.
Sebenarnya sudah hampir 2 th ini BRT Trans Semarang Koridor 4 melewati Jln. Pahlawan, namun hingga kini belum tersedia halte. Penempatan halte tersebut akan sangat mendukung kebijakan Gub. Jateng, sehingga perlu disegerakan penyediaan halte yang memadai. Tidak perlu harus menanti APBD, karena segi pendanaan memungkinkan untuk memperoleh dana dari CSR, misalnya.
Dengan menyediakan halte, ini menunjukkan bahwa pengguna transportasi umum adalah mengutamakan warga, seperti yang terjadi di negara-negara yg memprioritaskan transportasi umum sebagai sarana transportasi andalan warga kota.
Surat keputusan ini tentu saja harus dibarengi dengan pembenahan dan penambahan fasilitas transportasi publik di Kota Semarang, karena bila tidak, maka akan muncul masalah baru. Bagaimana orang mau tidak berkendara ke kantor bila kelengkapan transportasi publiknya tidak ada atau tidak memadai.
Barangkali, perlu belajar juga dari Kota Yogyakarta yang dulu pernah mencanangkan Gerakan Bersepeda untuk bekerja (Program Sego Segawe, Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe), yang kini tinggal gaungnya saja. Bagaimanapun, bersepeda juga ada persyaratan tertentu, yang terutama adalah jarak tempuh. Rasanya berat bila jarak di atas 10 KM harus bersepeda, belum lagi, minimnya peneduh pada jalan-jalan di perkotaan semakin menjadikan alasan orang untuk malas bersepeda, dan juga isu bike lane atau jalur sepeda yang masih setengah hati diterapkan di kota, sehingga bersepeda menjadi beresiko di jalanan.