Sungai-sungai di Indonesia, sebagian besar sedang mengalami permasalahan yang sama : pencemaran, pendangkalan dan kerusakan ekosistem. Sungai mengalami masa buruk alih-alih dihargai menjadi sumber kehidupan. Bahkan, 15 sungai di Indonesia ditengarai telah berada pada fase kritis, beberapa diantaranya : Sungai Citarum, Sungai Cimanuk, Sungai Ciujung dan Bengawan Solo di Jawa Tengah serta Brantas di Jawa Timur, kini kondisinya tercemar dan parah.
Lihatlah sungai-sungai yang melintas di kota-kota besar di Indonesia. Kesan kumuh selalu nampak. Bantaran sungai tak lagi kelihatan karena menjadi kawasan terbangun. Meski Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai sudah berbicara jelas mengenai fungsi dan pemanfaatan sungai, sepertinya persoalannya adalah kembali ke kesadaran masyarakat yang telah memperlakukan sungai sedemikian keliru selama puluhan tahun.
Selain melalui sekolah yang ditujukan ke anak-anak tersebut, Bu Endang juga memiliki sebuah program yang disebut M3K (Munggah, Mundur, Madhep Kali), yang dalam bahasa Indonesia berarti “naik” dari badan/bantaran sungai, “mundur” dari bantaran sungai dan kemudian rumah menghadap sungai. Karena memang bila kita amati, kebanyakan rumah-rumah di sini “ngungkuri” (membelakangi) sungai, sehingga kesannya sungai bukanlah wajah indah yang perlu ditampilkan, tapi sekedar menjadi saluran pembuangan sampah dan limbah gratisan.
Kata kunci untuk merestorasi sungai adalah kembali ke perilaku masyarakat yang memang sebagian besar belum menghargai keberadaan sungai. Dalam Bab VI Pasal 69 Peraturan Pemerintah tentang Sungai, pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dalam pengelolaan sungai melalui kegiatan sosialisasi, konsultasi publik dan pemberdayaan masyarakat.
Di Kota Yogyakarta, kelompok-kelompok kerja untuk pengelolaan sungai tersebar di beberapa sungai besar yang membelah kotanya, diantaranya FKWA untuk Sungai Winongo, Forum Silaturahmi Daerah Aliran Sungai (Forsidas) Gajah Wong dan Pamerti Code di Kali Code. Ketika bertemu pegiat Fosidas Kali Gajah Wong, Pak Agus Supriyanto mengatakan kepada saya, bahwa gerakan restorasi sungai kebanyakan masih spasial karena batas-batas administrasi yang berada di suatu sungai bisa lebih dari satu. Padahal, untuk pengelolaan sungai harus berangkat dari kerangka pikir yang komprehensif dan memandang sungai sebagai sebuah sistem. Bila sifat pengelolaan sepenggal-sepenggal, akan sulit diraih hasil yang optimal.
Nantinya kongres ini mempunyai gol untuk membangun “poros masyarakat sungai Indonesia” sebagai jejaring kerja pemulihan, penyelamatan, pengamanan dan pengelolaan sungai, beserta kawasan penyangga dan tersangga, berbasis masyarakat, antar daerah/kewilayahan maupun pemangku kepentingan lainnya.
*Semua foto adalah koleksi pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI