Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Budaya Berkereta di Jepang

9 Maret 2015   11:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:57 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_401591" align="aligncenter" width="512" caption="Time table Shinkansen di stasiun Shinagawa"]

142587347492837871
142587347492837871
[/caption]

[caption id="attachment_401598" align="aligncenter" width="512" caption="Masinis turun kereta, memantau CCTV, memastikan penumpang naik-turun dengan aman"]

14258748211422184963
14258748211422184963
[/caption]

Frekuensi kedatangan dan keberangkatan kereta di Tokyo sangat singkat, dalam catatan saya tidak sampai 5 menit, sudah ada kereta berikutnya, jadi, kita tidak perlu khawatir ketinggalan kereta/terlambat berangkat ke tempat tujuan. Untuk kereta komuter, ada 3 jenisnya : kereta local yang berhenti di tiap stasiun, kereta semi ekspres yang berhenti di beberapa stasiun, dan ada kereta ekspress yang langsung meluncur ke tempat tujuan, sehingga cepat sampai tujuan. (Untuk kereta Shinkansen, juga berlaku pembagian 3 jenis ini : Nozomi, Hikari dan Kodama).

Kereta ekspress ditandai dengan indikator lampu berwarna hijau di bagian depannya. Indikator ini juga terlihat pada layar monitor time table perjalanan kereta, sehingga di papan informasi kedatangan kereta bisa terbaca juga oleh penumpang. Penumpang yang sudah memiliki “jam berkereta” tinggi, biasanya akan segera berpindah ke kereta ekspress bila mereka mengetahuinya, saking efisiennya kehidupan orang Jepang.

[caption id="attachment_401592" align="aligncenter" width="512" caption="Tempat tunggu di stasiun Shibuya, nyaris jarang digunakan"]

14258735331253049046
14258735331253049046
[/caption]

Berbicara tentang efisiensi kehidupan berkereta, di stasiun-stasiun di Tokyo hampir tidak pernah terjadi penumpukan penumpang. Jadi, stasiun selalu kelihatan sepi dan bersih. Sehingga, meski tersedia tempat-tempat duduk (yang tidak banyak jumlahnya), jarang dimanfaatkan.

Kini, platform di hampir semua stasiun dibuat tertutup, tentunya ini demi keamanan, atau dugaan saya mungkin juga untuk mencegah orang bunuh diri dengan menabrakkan ke kereta. Bunuh diri bukanlah persoalan baru di Jepang, kini, bila ada orang yang bunuh diri di stasiun/platform, maka keluarganya akan didenda oleh pemerintah sampai sekitar 2 atau 3 juta JPY. Konon kemudian, yang berniat bunuh diri, biasanya menanggalkan identitas, agar keluarganya tidak terbebani.

[caption id="attachment_401593" align="aligncenter" width="512" caption="Larangan di platform"]

1425873597347485299
1425873597347485299
[/caption]

[caption id="attachment_401595" align="aligncenter" width="480" caption="Platform tertutup "]

1425873688363968940
1425873688363968940
[/caption]

Stasiun-stasiun di Jepang biasanya komprehensif dengan fungsi lain, entah itu dengan fungsi kesehatan, fungsi perbelanjaan, pemerintahan, pelayanan hingga kesenangan. Di Ookayama, distrik Ota,  di atas stasiun ada bangunan rumah sakit, terdengar kontradiktif, tetapi ternyata kedua fungsinya juga berjalan baik-baik saja tanpa konflik. Segala sesuatunya telah diatur sedemikian rupa, sehingga manajemen waktu orang menjadi sangat efisien ketika bepergian.

[caption id="attachment_401599" align="aligncenter" width="512" caption="Stasiun bus, di depan stasiun Kyoto, terdapat juga hotel dan pusat perbelanjaan di stasiun"]

14258748791531574830
14258748791531574830
[/caption]

[caption id="attachment_401600" align="aligncenter" width="512" caption="Coin locker, fasilitas penyimpanan berbayar - kita bisa pulang kerja dan mampir berbelanja tanpa perlu menenteng tas berisi file pekerjaan"]

14258749651012068105
14258749651012068105
[/caption]

Kehidupan berkereta di Jepang adalah representasi negara yang mengakomodasi hajat hidup orang banyak, dan Jepang membuktikan, bahwa mereka bisa mewujudkan transportasi yang berkeadilan.

Salam spoor-spooran.

*Semua foto adalah koleksi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun