Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Senja Kala Pesepeda di Yogyakarta

21 Agustus 2014   16:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:58 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepeda onthel dari Belanda
Rodanya meninggalkan bekas-bekas cinta
Di sudut-sudut kota Yogyakarta
Sudah lapuk besi-besinya
Sudah patah ruji-rujinya
Habis dimakan cinta
Sepeda onthel Jawa
Saksi mata bagi kita
Kota ini pernah bersemi dengan cinta
Kini Yogya tiada lagi mau bersepeda
Hiruk pikuk dan macet dimana-mana
Tapi cinta tiada lagi di hatinya
Sepeda onthel sudah tua
Tiada lagi berputar-putar rodanya
Yogya pun kini sepi dari cinta

(Sindhunata)

Puisi yang dituliskan Rama Sindhunata di atas adalah fakta pesepeda di Kota Yogyakarta saat ini. Gambaran tentang sepeda sebagai cinta sungguh dalam. Ketiadaan sepeda sebagai cinta di kota merupakan kesepian di tiap sudut kotanya. Seperti seorang yang getir karena kehilangan cinta.

Saya jadi teringat celotehan Pak Sardono W Kusumo, yang dulu sekali sangat terkesan dengan pesepeda di Yogyakarta. "Orang Bantul itu pipinya tembong (menghitam) sebelah, di pipi kanannya. Bila mereka berangkat bekerja bersepeda ke kota (ke arah utara), pipi kanan mereka diterpa langsung sinar matahari pagi, demikian pula ketika pulang kerja, pipi kanan mereka gantian diterpa sinar matahari sore, jadilah pipi kanan mereka hitam...."

Rombongan pesepeda pekerja ini pernah marak di tahun 1980-an. Saya ingat betul, waktu saya kecil, susah sekali menyeberang Jalan Parangtritis karena rombongan pesepeda ini sangat panjang dan tidak putus-putus. Mereka bersepeda dalam rombongan, kadang berjajar sampai empat memenuhi separo badan jalan.

Kini, rombongan pesepeda semacam itu tinggal kenangan saja.

Meskipun pemerintah kota Yogyakarta di masa Walikota Heri Zudianto gencar mengusung jargon "Sego Segawe", yaitu singkatan dari "Sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe" (Bersepeda untuk ke sekolah dan ke tempat kerja), tapi semuanya tinggal wacana.

[caption id="attachment_354297" align="aligncenter" width="640" caption="Lampu mulai padam pada jargon "][/caption]

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Yogyakarta (yang tidak berbanding lurus dengan jumlah panjang jalan) mencapai 9,7% per tahun, menyebabkan kemacetan menjadi fenomena yang meluas baik di dalam kota, maupun di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan pusat kota Yogyakarta, karena sebagian besar pergerakan kendaraan menuju ke pusat Yogyakarta. Berbagai macam keluhan muncul, bahkan slogan Yogyakarta Berhati Nyaman, dipelesetkan menjadi "Yogyakarta Berhenti Nyaman"....

[caption id="attachment_354298" align="aligncenter" width="480" caption="Semangat "]

14085857841041734960
14085857841041734960
[/caption]

Lalu apa hubungannya dengan sepeda? Gaya hidup bersepeda telah disepakati sebagai salah satu cara menghindari simpul-simpul kemacetan di kota. Karena bersepeda lebih simpel, praktis masih dan merupakan gaya hidup yang sehat. Namun, kini kebanyakan warga Yogyakarta juga mulai malas bersepeda (kecuali yang tergabung dalam Komunitas-komunitas onthel). Resiko menyabung nyawa di jalanan adalah alasan utama, bagaimana tidak, kendaraan-kendaraan bermotor, terutama roda dua, kini menjadi raja jalanan. Tanpa toleransi, mereka ini mendominasi dan menguasai jalanan, membuat ciut nyali para pesepeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun