Politik identitas telah menjadi fenomena penting di berbagai belahan dunia, termasuk  masyarakat Islam. Dimana identitas politik tidak hanya ditentukan oleh faktor agama, tetapi juga oleh budaya, etnis, dan sejarah.
 Dalam masyarakat Islam, interaksi identitas budaya dan  agama menciptakan relasi kekuasaan yang unik dan kompleks. Politik identitas dalam masyarakat Muslim mengacu pada penggunaan identitas agama, etnis, atau budaya sebagai basis untuk mobilisasi politik dan sosial,  Artikel ini membahas bagaimana budaya mempengaruhi politik identitas dalam masyarakat Islam dan bagaimana budaya membentuk relasi kekuasaan.Â
Politik identitas adalah kecenderungan kelompok tertentu untuk membangun dan mempertahankan identitas kolektif berdasarkan faktor-faktor seperti agama, etnis, atau budaya. Hal ini sering  dilakukan untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain dan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka di bidang politik dan sosial.Â
Dalam konteks masyarakat Islam, identitas tersebut seringkali dipengaruhi oleh  norma dan nilai yang muncul dari ajaran Islam, sejarah, dan tradisi keagamaan.
Dinamika kekuasaan adalah interaksi yang terjadi dalam struktur kekuasaan dan mencerminkan bagaimana kekuasaan dinegosiasikan, diperebutkan, dan dilaksanakan. Kekuasaan muncul dari penggabungan berbagai faktor, baik individual maupun sistemik. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan atau sewenang-wenang, namun berakar pada struktur masyarakat, karakteristik pribadi, dan sejarah hubungan. Struktur sosial seperti kelas, gender, ras, dan usia merupakan kontributor signifikan terhadap dinamika kekuasaan. Struktur ini dapat memberikan atau menahan kekuasaan, sehingga mempengaruhi kapasitas individu untuk membuat pilihan dan mempengaruhi hasil,
Pengaruh Budaya terhadap Identitas Politik dalam Masyarakat Muslim Agama sebagai Faktor Pembentukan Identitas Islam berfungsi tidak hanya  sebagai agama tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang mempengaruhi berbagai aspek sosial, politik dan budaya.  Di banyak negara Islam, ajaran dan nilai-nilai Islam menjadi dasar pembentukan identitas politik. Misalnya, konsep ummah (komunitas Muslim global) berperan penting dalam menciptakan rasa solidaritas dan identitas bersama di kalangan umat Islam dari berbagai belahan dunia. Ajaran Islam seringkali dijadikan kerangka  kebijakan publik dan hukum, yang pada akhirnya mempengaruhi relasi kekuasaan..Â
Komunitas Muslim di seluruh dunia memiliki tradisi dan sejarah yang berbeda-beda. Misalnya, masyarakat Islam di Timur Tengah memiliki sejarah panjang  peradaban kuno, kerajaan, dan kekhalifahan yang mempengaruhi struktur sosial dan politik. Di sisi lain, masyarakat Islam di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia, mempunyai pengaruh budaya yang kuat dari agama Hindu dan Budha bahkan sebelum Islam menjadi dominan.Â
Tradisi dan sejarah daerah-daerah tersebut memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik dan mempengaruhi hubungan kekuasaan daerah. Identitas etnis juga memainkan peran penting dalam politik identitas dalam masyarakat Islam. Misalnya, di negara-negara seperti Irak dan Suriah, sering kali bersinggungan dengan identitas agama, sehingga menciptakan hubungan kekuasaan yang kompleks dalam politik lokal. Di negara-negara tersebut, perbedaan etnis dan agama seringkali menjadi sumber konflik dan polarisasi, sehingga mempengaruhi stabilitas  dan kekuasaan politik.
Politik identitas seringkali menimbulkan polarisasi dan konflik, terutama ketika berbagai kelompok merasa identitasnya terancam. Di beberapa negara, perbedaan identitas ini  menyebabkan konflik yang terus berlanjut. Di Irak, misalnya, perbedaan antara  Sunni dan Syiah telah menjadi sumber ketegangan dan kekerasan selama beberapa dekade. Konflik ini seringkali diperparah dengan adanya intervensi kekuatan asing yang berkepentingan dengan dinamika regional. Identitas politik seringkali dijadikan alat  mobilisasi massa. Para pemimpin politik mungkin menggunakan identitas agama atau etnis untuk mendapatkan dukungan dan memperkuat posisi  kekuasaan. Misalnya, selama revolusi Iran tahun 1979, Khomeini menggunakan identitas Islam Syiahnya untuk mendapatkan dukungan rakyat dan menggulingkan rezim sekuler Shah.Â
Revolusi ini menunjukkan bagaimana identitas agama dapat menjadi kekuatan mobilisasi yang kuat dalam relasi kekuasaan. Identitas politik juga mempengaruhi kebijakan publik dan representasi politik. Kelompok dengan identitas tertentu mungkin memperjuangkan keterwakilan yang lebih besar dalam pemerintahan atau  kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tersebut. Misalnya saja di Indonesia, meski secara resmi merupakan negara sekuler, partai politik Islam sering berupaya menegakkan hukum syariah di berbagai tingkat pemerintahan. Hal ini  menunjukkan bagaimana identitas agama  mempengaruhi pengambilan kebijakan dan representasi politik di tingkat nasional.