Kasus revenge porn yang dialami oleh IAK (23), seorang mahasiswi asal Pandeglang, Banten, melibatkan mantan kekasihnya, Alwi Husein Maolana (22). Pelaku tidak hanya melakukan kekerasan fisik tetapi juga memperkosa korban pada periode 2019-2020 dan 2021. Tindak kekerasan tersebut direkam oleh pelaku untuk dijadikan alat ancaman, memaksa korban tetap menjalin hubungan dengannya. Ketika korban berupaya mengakhiri hubungan, pelaku menyebarkan video asusila tersebut kepada teman-teman dan keluarganya, yang berdampak buruk pada nama baik dan kondisi psikologis korban. Hubungan mereka, yang telah berlangsung sejak masa SMP, penuh dengan kekerasan, ancaman pembunuhan, dan pemerasan. Saat ini, pelaku dikenai Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 27 Ayat (1) UU ITE dengan ancaman hukuman enam tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan larangan akses internet selama delapan tahun. Namun, proses hukum belum menyentuh aspek kekerasan seksual secara menyeluruh. Keluarga korban berencana mengajukan laporan ulang menggunakan UU TPKS dan KUHP agar pemerkosaan, pengancaman, serta pemerasan yang dilakukan pelaku dapat diproses secara hukum.
Kejadian ini sangat relevan sebagai inspirasi untuk pembuatan film pendek yang mengangkat isu kekerasan seksual di kampus, khususnya terkait revenge porn. Dengan pendekatan teori semiotik, pengalaman korban dapat divisualisasikan melalui simbol-simbol yang kuat dan narasi yang menggambarkan realitas sosial. Misalnya, perangkat seperti ponsel atau kamera dapat menjadi representasi alat kejahatan digital, sementara adegan korban menerima ancaman pelaku di ruang kampus atau ruang privat mencerminkan invasi privasi yang dialami. Warna-warna gelap dapat digunakan untuk menyimbolkan trauma dan tekanan psikologis, sedangkan pencahayaan terang pada adegan dukungan dari teman-teman korban bisa menjadi tanda simbolik harapan. Selain itu, emosi korban yang terlihat ketika konten asusila tersebar dapat menggambarkan hubungan sebab-akibat yang nyata, memperlihatkan dampak langsung kejahatan ini terhadap mental, sosial, dan kehidupan hukum korban.
Melalui narasi yang didukung visual semiotik, film ini dapat menyoroti ketimpangan gender dan ketidakadilan hukum yang sering dialami korban kekerasan seksual. Adegan yang menampilkan laporan korban yang diabaikan oleh pihak berwenang atau stigma dari masyarakat bisa menjadi kritik terhadap sistem yang kurang berpihak kepada korban. Narasi perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan, yang didukung solidaritas dari teman-teman dan aktivis kampus, bisa membangun pesan harapan sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya dukungan sosial. Elemen tambahan seperti rekaman ancaman pelaku atau kilas balik pengalaman traumatis korban dapat memperkuat pesan emosional film. Dengan demikian, film ini bukan hanya menjadi karya seni, tetapi juga alat edukasi yang efektif untuk membangun kesadaran publik dan mendorong reformasi hukum yang lebih adil.
Kasus revenge porn yang dialami IAK dapat dianalisis menggunakan teori semiotik untuk menggambarkan dinamika kekerasan seksual berbasis teknologi dan dampaknya terhadap korban. Dalam pendekatan ini, perangkat digital seperti ponsel dan kamera menjadi simbol yang merepresentasikan kekuasaan pelaku dalam mengendalikan korban. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat komunikasi, diubah menjadi senjata untuk mengancam dan mempermalukan. Dalam film pendek, simbol ini dapat divisualisasikan melalui adegan pelaku mengirim ancaman atau menyebarkan video, yang menggambarkan invasi privasi korban dan tekanan psikologis yang dialami.
Trauma korban dan stigma sosial juga dapat direpresentasikan melalui tanda-tanda simbolik. Warna gelap atau pencahayaan redup bisa melambangkan tekanan psikologis, sementara dialog atau interaksi dengan lingkungan sosial mencerminkan stigma yang sering menyalahkan korban kekerasan seksual. Menurut teori semiotik Barthes, tanda-tanda ini membentuk mitos budaya yang memperkuat ketidakadilan terhadap perempuan. Film pendek dapat membongkar mitos ini dengan menghadirkan narasi korban yang berjuang melawan stigma dan mencari keadilan, sehingga membangun solidaritas dan empati audiens.
Tanda indeksikal dalam kasus ini terlihat pada dampak langsung kekerasan terhadap korban, seperti rasa malu, ketakutan, dan isolasi sosial. Dalam film, emosi korban dapat divisualisasikan melalui adegan yang menunjukkan penderitaannya setelah konten asusila di sebarkan, sehingga memperjelas hubungan sebab-akibat dari kekerasan ini. Dengan demikian, proyek film ini bukan hanya menjadi medium seni, tetapi juga alat edukasi untuk meningkatkan kesadaran publik tentang urgensi perlindungan terhadap korban dan mendorong penegakan hukum yang lebih berpihak kepada keadilan.
Melalui hasil analisis kasus revenge porn ini menggambarkan kompleksitas kekerasan seksual berbasis digital yang memanfaatkan teknologi untuk mengontrol dan merusak korban. Dengan pendekatan teori semiotik, film pendek dapat menggunakan simbol seperti ponsel untuk merepresentasikan alat kejahatan, warna gelap untuk trauma, dan pencahayaan terang untuk solidaritas. Narasi korban yang berjuang melawan stigma dan mencari keadilan juga dapat membongkar mitos budaya yang menyalahkan perempuan, sebagaimana dijelaskan Barthes, sambil mengkritik ketidakadilan hukum. Adegan yang menunjukkan dampak langsung, seperti isolasi sosial dan rasa malu, menguatkan hubungan sebab-akibat dari kekerasan ini. Dengan demikian, film ini dapat berfungsi sebagai kritik sosial sekaligus alat edukasi untuk membangun kesadaran tentang pentingnya perlindungan korban dan reformasi hukum yang berpihak pada keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H