Agak lama kami tertahan di TPI karena komputer baru dinyalakan saat kami masuk. Setelah semua program aktif, ternyata paspor saya tidak bisa terbaca di komputer sehingga harus diinput secara manual. Saya melihat petugas TPI kesulitan untuk input data secara manual dalam Bahasa Inggris, maka saya pun menawarkan diri untuk membantunya. Ajaib, dia setuju dan mengijinkan saya masuk ke ruang kerjanya, bantu input data pribadi ke dalam komputer dan ditutup dengan foto bersama di TPI. Buat yang sering berpergian ke luar negeri pasti sudah memahami bahwa mengambil foto di wilayah TPI adalah haram hukumnya. Sebagai tanda persahabatan, saya berikan dia sebungkus rokok kretek yang memang sengaja saya bawa dari tanah air.
Mobil kembali meluncur. Baru sekitar 15 menit, Abu Muhammad berhenti di sebuah pom bensin yang tidak beroperasi dan sampaikan bahwa dia hanya bisa mengantar kami sampai sini dan kawannya akan mengantar kami melanjutkan perjalanan. Abu Muhammad tidak meminta uang bayaran kepada kami saat kami pindah mobil. Mencoba berfikiran positif, saya hanya membayangkan calo taksi yang sering kita temui di Bandara Soekarno Hatta.
Abdullah demikian nama pengemudi Toyota hilux berikutnya, dia sedang sholat saat kami tiba di pom bensin itu. Dalam lanjutan perjalanan dengan Abdullah, kami menyusuri garis pantai yang indah dan sesekali melewati perkampungan kumuh. Jalanan sebagian besar beraspal namun banyak sekali potongan jalan yang rusak parah. Memahami keheranan saya, Abdullah mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah peduli dengan kondisi yang demikian, mereka terlalu sibuk dengan perang. Lalu diapun membuka dashboard mobil dan menunjukkan sebuah pistol revolver. Di Yaman, katanya, hampir semua orang memiliki senjata. Soal perang yang menimpa Yaman, Abdullah menyampaikan bahwa sampai saat ini wilayah Timur Yaman berada dalam situasi yang aman. Tidak ada hal-hal yang menarik di wilayah Timur yang membuat pihak-pihak yang bertikai berminat masuk. Saat saya tanya apa saja hal-hal yang menarik itu dia bilang bank dan gudang persenjataan.
Di sepanjang perjalanan saya mendengarkan Abdullah berbicara dengan beberapa orang menawarkan ‘proyek taxi’ membawa kami ke Tarim. Kembali bayangan Bandara Soekarno Hatta muncul di kepala. Benar saja, setelah 2 jam perjalanan, Abdullah sampaikan bahwa kita akan berhenti di Al-Ghaidah untuk ganti mobil dan pengemudi. Kami kembali bertemu dengan calon pengemudi kami berikutnya (kembali) di pom bensin yang tidak berfungsi sekitar jam 5 sore. Abdullah meminta saya membayar ongkos taxi. Saya sampaikan bahwa uang akan saya bayar saat kami tiba di Tarim. Setelah perdebatan beberapa saat, akhirnya kami sepakati untuk membayar uang yang menjadi ‘hak’ Abu Muhammad dan Abdullah, sementara sisanya akan saya bayarkan kepada pengemudi berikutnya sesampainya kami di tempat tujuan. Cukup adil menurut saya.
Supir kami berikutnya adalah Said, seorang anak muda Yaman dengan pakaian tradisional yaman, kemeja dan sarung. Dia membawa mobil corolla tahun 2000-an berwarna putih. Deal berhasil dicapai oleh Abdullah dan Said, lalu barang bawaan kami pindahkan dan meluncurlah kami dari Al Ghaidah. Belum ada kejelasan apakah kami akan kembali pindah mobil. Perjalanan berikutnya kami tempuh selama 5 jam ke arah Utara melalui padang pasir dan pegunungan batu yang gelap gulita dengan melewati 3 kali pemeriksaan bersenjata. Dan tibalah kami di Sahen, kota di Yaman yang berbatasan dengan kota Mezyunah di Oman. Kami istirahat untuk sholat dan makan malam di Sahen. Selesai makan kami mencari bensin untuk melanjutkan perjalanan. Bensin tidak kami dapatkan di pom bensin di kota Sahen, melainkan di pasar bebas. Abdullah berhasil mengisi bensin mobil full dan membawa 1 galon bensin yang disimpan di bagasi mobil untuk cadangan. Ternyata kami tidak harus pindah mobil di pemberhentian ini.
Mengikuti proses pindah-pindah mobil mengingatkan saya pada berita yang sering saya baca mengenai terorisme atau narkoba yang bergerak berdasarkan sel-sel kecil yang tidak kenal antara satu dengan yang lainnya. Rasa takut tentunya masih ada. Bagaimana jika kami dibegal di tengah padang pasir, bagaimana jika di tengah jalan terjadi penyerangan bersenjata, bagaimana jika… bagaimana jika… segala bayangan buruk tetap menghantui. Belum lagi selama perjalanan kami putus kontak dengan dunia luar karena memang tidak memiliki telpon seluler yang aktif di Yaman. Tapi kembali rasa pasrah Lillahi Taála, memberikan keyakinan yang kuat dalam diri kami.
Sekitar pukul 23.00 kami kembali melanjutkan perjalanan ke arah Barat, kembali melalui padang pasir dan pegunungan batu yang gelap gulita dan melewati 2 pemeriksaan bersenjata. Ada cerita menarik saat di pemeriksaan bersenjata yang kedua. Karena suatu hal, Abdullah tertahan di pemeriksaan kali ini. Petugas bersenjata menahan surat mobilnya. Saya pun lalu memberanikan diri untuk turun dan menyapa sang penjaga yang hanya berdua. Sedikit basa-basi, saya pun memberikan rokok kretek kepada mereka dan seketika cairlah suasana. Pos-pos jaga yang kami lalui hanyalah berupa bangunan, bedeng lebih tepatnya dari bata dan tanah seukuran 2x2 m tanpa dicat. Di tengah jalan diletakkan drum dengan bendera di atasnya.
Tertarik melihat bendera sobek yang berkibar di atas drum, saya pun minta ijin untuk mengambil foto disitu. Bukan hanya diijinkan, tanpa disangka si penjaga langsung melepaskan senapan otomatisnya dan memberikan kepada saya untuk dipakai bergaya foto dengan AK-47. Kesempatan ini pun digunakan oleh teman-teman anggota Tim lainnya untuk bergaya. Jadi kalau saya bilang Tim-2 ikut angkat senjata di Yaman…secara harfiah benar adanya…
Azan subuh terdengar ketika kami mulai memasuki perkampungan di propinsi Hadhramaut. Suasana kota berbeda dengan perkampungan yang kami lalui sebelumnya. Abdullah bilang kalau kita akan memasuki kota Tarim dalam waktu sekitar 1 jam lagi. Kami berhenti di salah satu masjid dan melaksanakan Sholat Fajar.
Selesai sholat berjamaah, saya melakukan sujud syukur sebagai ungkapan rasa syukur saya yang tiada terhingga kepada Sang Maha Pelindung atas segala perlindungan yang diberikan kepada saya dan seluruh anggota Tim, sehingga kami bisa melangkah sampai sejauh ini dengan selamat.
(bersambung)