Patriaki sudah merajalela dan menjadi budaya dalam masyarakat. Patriaki merupakan istilah yang mewakili sistem sosial dalam suatu masyarakat yang menempatkan peran laki-laki berada dalam posisi teratas dan mendominasi hampir seluruh elemen sektor di kehidupan. Mulai peran dalam sektor penguasaan properti, hak sosial, figur kepemimpinan hingga merambat ke dalam otoritas moral. Budaya patriaki ternyata memberikan dampak yang besar terhadap posisi perempuan. Perempuan dianggap sebagai masyarakat kelas dua yang posisinya lebih rendah dari laki-laki. Hal ini berdampak kepada stereotip yang berkembang di dalam masyarakat secara luas bahwa perempuan sering di identikkan dengan lemah lembut dan penuh emosional, Budaya patriaki berdampak pada pola asuh yang diterapkan pada anak perempuan. Perempuan dibentuk sedemikian rupa agar lemah yang mengakibatkan adanya rasa ketergantungan. Hal ini tentunya berhubungan dengan lahirnya cinderella complex. (Anggriany & Astuti, 2003)
 Definisi dari cinderella complex dapat diartikan sebagai ketergantungan yang diperlihatkan dengan ketakutan akan kemandirian. Colette dowling semasa hidupnya berhasil menulis buku yang dilatarbelakangi oleh adanya Masyarakat yang memiliki ketakutan atau khawatir terhadap perempuan yang mempunyai sifat dan berperilaku mandiri. Dowling mengartikan cinderella complex dari perspektif psikologi adalah keyakinan perempua saat terjadi masalah sesuatu yang dari luar yang menjadi penolong, serta ketergantungan perempuan untuk dilindungi juga dirawat oleh orang lain yang antara lain adalah laki-laki. Dongeng Cinderella yang masih populer hingga sekarang dapat menggambarkan cerminan dari cinderella complex, seperti saat cinderella mendapat kemalangan karena kehilangan orang tua kandungnya dan kesengsaraan yang dia dapat dari ibu dan kedua saudara tirinya. Masalah cinderella selesai saat sang pangeran datang dengan kuda yang gagah lalu menyelamatkannya dari kesulitan dan membawanya ke istana.
Peran dari media dalam distribusi pemahaman terkait cinderella complex sangat besar. Media berperan dalam membentuk ekspetasi dalam pembagian peran gender dan pembentukan persepsi. Representasi terkait cinderella complex yang tersebar di berbagai media seperti dalam buku, media sosial dan film yang memiliki kecenderungan terhadap narasi perempuan yang bergantung kepada laki-laki. Dalam artikel ynag diterbitkan oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BPPKI) bandung yang mengkaji citra perempuan dalam media yang dalam hal ini berbentuk iklan. Iklan yang dikemas secara menarik biasanya menggunakan model perempuan. Stereotip yang melekat dalam perempuan secara tidak langsung dibentuk oleh iklan. Iklan tidak hanya sekedar menampilkan produk untuk promosi, akan tetapi juga menyeret isu-isu perempuan didalamnya seperti pencitraan dan objek kekerasan.(Hayati, 2012)
Industri fesyen merupakan kondisi dimana industri dalam cakupan global yang pangsa pasarnya mempunyai karakteristik permintaan yang tidak dapat diprediksi, hal ini didasari dikarenakan sifatnya yang dapat naik maupun turun. Kecenderungan dari industri fesyen ini adalah penyimpanan dalam jangka panjang dan juga pilihan produk yang beragam.(Putrisuryyana, 2021) industri fesyen ini erat kaitannya dengan membentuk citra ideal bagi perempuan. Pengaruh industri fesyen terhadap membentuk citra perempuan menjadi hal yang dekat dengan cinderella complex. Fashion comes first menerbitkan artikel dengan topik citra tubuh di industri fesyen, disini terdapat pemaparan bahwa industri fesyen mendapat kecaman dari publik dikarenakan sudah menampilkan citra tubuh terhadap perempuan yang dianggap tidak realistis. Hal ini didasari oleh pengungkapan standar tubuh ideal dari perempuan yang dinilai sangat kurus. Rasio dari tinggi badan dan berat badan yang jauh dari kata seimbang menyebakan munculnya berbagai masalah yang dihadapi perempuan seperti menstruasi yang tidak lancar, penurunan fungsi kekebalan tubuh serta terjadi malnutrisi.
Pengaruh cinderella complex dalam industr fesyen selain pada representasi ideal tubuh dan kecantikan yang didalamnya terdapat pemodelan tubuh yang ideal dalam dunia fesyen. Hal berujung pada standar persepsi citra yang berkembang di masyarakat secara luas bahwa perempuan yang cantik adalah yang memiliki badan kurus dan tinggi serta berkulit putih. Cinderella complex dalam dunia fesyen juga memiliki pengaruh terhadap konsep romantisasi kekayaan juga status sosial. Fesyen seperti merek tertentu pada suatu produk seperti baju, topi, rok hingga aksesoris dapat menciptakan kesan yang mewah. Sesuatu yang mewah identik dengan status sosial yang tinggi. Industri fesyen secara nyata telah menawarkan barang mewah debgan harga jual yang tinggi merupakan tanda dari kesuksesan dan status sosial seseorang.(Yusri, 2020) Konsep cinderella complex yang dibangun dalam industri fesyen mencitrakan bahwa citra diri dapat dibangun melalui gaya hidup yang dikemas melalui iklan dan editorial. Meromantisasi kehidupan kalangan atas dan para elit sosial seolah kemewahan adalah tujuan dari hidup dan makna dari kebahagiaan. Konsep dari romatisasi kekayaan dan status sosial dalam industri fesyen terkait cinderella complex berdampak pada pemikiran aspirasi perempuan dalam hubungan karir dan pendidikan. Dimana perempuan akan memilih jalur Pendidikan yang membuat karirnya memiliki finansial yang tinggi dan dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat.(Chusnal Iffah, 2019)
Kritik terhadap adanya Cinderella complex dalam perkembangan industri fesyen yang menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakrealitisan. Promosi yang dilakukan oleh indusri fesyen dalam bentuk kecantikan dan kekayaan membuat hal tersebut dikejar oleh masyarakat. Dalam kenyataan di lapangan standar-standar yang dibuat industri fesyen yang dipengaruhi oleh Cinderella complex dianggap tidak realistis. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap efek psikologis dari standar yang tidak dapat dicapai. Adanya masalah psikologis seperti rasa tidak percaya diri dan ketidakpuasan terhadap tubuh. Kesenjangan yang terpampang nyata dan dinarasikan secara terus menerus membuat konsumsi dari produk industri fesyen meningkatkan pembagian dari kelas sosial. Kemiskinan identitas merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam upaya mengikuti standar.
Peran media dalam memperkuat stereotip dan kesenjangan gender. Kesenjangan yang terjadi adaah ruang untuk perempuan menjadi terbatas serta terpolaisasi.(Eisend, 2010) Â Stereotip terhadap perempuan yang dibebankan peran dalam rumah tangga, dimana pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan seperti memasak dan mencuci piring serta pakaian. Konsep cinderella complex seperti stereotip kebergantungan tehadap laki-laki. Stereotip pemenuhaan standar penampilan dan kecantikan yang ada di masyarakat dan keterbatasan terhadap kesuksesan karir profesiaonal. Penggunaan model dan selebriti dalam memperkuat norma. Hal ini didasarkan dari konsep kecantikan yang mana perempuan dilihat sebagai objek seksual imbas dari patriaki dan maskulinitas.(Mutiah, 2019) Tantangan dalam merombak paradigma media tentunya diharapkan mampu memberi perubahan terhadap kesenjangan gender dan stereotip. Kebutuhan masyarakat terhadap adanya media yang bersifat realistis juga terbuka. Perombakan terhadap paradigma media tentunya membutuhkan kolaborasi yang tepat antara pemerintah selaku pembuat kebijakan, industri media serta masyarakat.
Â
Daftar Pustaka
Anggriany, N., & Astuti, Y. D. (2003). Hubungan Antara Pola Asuh Berwawasan Jender Dengan Cinderella Complex. Psikologika: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 8(16). https://doi.org/10.20885/psikologika.vol8.iss16.art5
Chusnal Iffah. (2019). PENGARUH KECENDERUNGAN CINDERELLA COMPLEX TERHADAP KUALITAS PERENCANAAN KARIER PADA MAHASISWI UNNES.