Akhir Januari 2018. Tepat sebulan setelah gegap gempita perayaan tahun baru, kantor polisi dan rumah sakit semakin sibuk. Bisa dikatakan lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa misterius terjadi pada sebagian masyarakat. Atau bisa jadi kepada semua rakyat Indonesia, hanya saja mungkin sebagian besar masih enggan melapor karena hal ini menyangkut prestige dan eksistensi kemanusiaan masing-masing. Dan rata-rata pelapor mengaku kehilangan saat terbangun di satu pagi pertama tahun 2018.
Hampir setiap hari televisi nasional melaporkan perkembangan situasi pelapor. Persis seperti saat mereka meliput peristiwa mudik tahunan. Menempatkan beberapa kontributor pada kantor pusat kepolisian di tiap daerah untuk capaian ketepatan dan kecepatan penyampaian berita.
Seiring bertambahnya waktu dan pesatnya peningkatan jumlah pelapor, beberapa televisi nasional mulai berpikir menggandeng lembaga statistik. Mereka akan berlomba-lomba menghadirkan statistik pelapor seakurat dan secepat mungkin. Memperbandingkan jumlah pelapor dengan jumlah keseluruhan rakyat Indonesia. Perbandingan ini menjadi sangat penting, baik bagi penonton biasa, atau bahkan untuk orang-orang pemerintahan yang tampaknya mulai ketularan sibuk atas peristiwa paling misterius sepanjang masa ini.
Sayang, semakin hari tampaknya mereka telah sibuk dengan kehilangannya sendiri, bukan lagi tentang apa yang dialami rakyatnya. Beberapa aparat kepolisian pun mulai berinisiatif ikut-ikutan mengantri untuk melaporkan kehilangan. Tidak hanya polisi, tapi tentara, wakil rakyat, dokter, kyai, mulai berbondong-bondong untuk mengantri melapor. Sial pada akhirnya beberapa televisi mulai berhenti tayang, karena sebagian besar staff, crew, reporter, kontributor, juga memiliki inisiatif yang sama--melapor!
Tepat pertengahan bulan kedua tahun 2018, seketika negeri ini hanya berisi pelapor yang kebingungan mau melapor kemana---lha wong yang dilapori juga melapor. Negeri ini seolah sedang mati suri. Jalanan hanya diisi gerombol wajah-wajah cemas dan kebingungan. Hal ini berlaku pada semua lapisan masyarakat.Â
Mereka yang berduit pun tidak bisa berbuat apa-apa. Berpikir mengadu ke pihak luar negeri, apa mau dikata, semua akses tidak berfungsi. Bandara tidak beroperasi, layanan telekomunikasi mati, dan kabarnya aliran air dan listrik akan segera dimatikan karena tidak ada lagi orang yang mau mengelola. Semuanya sangat sibuk dengan urusan kehilangan masing-masing.
***
Di sudut yang lain. Di dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang telah sebulan ini tak lagi pernah didatangi manusia, berkumpul jutaan alat kelamin. Mereka datang secara sembunyi-sembunyi dari seluruh penjuru negara indonesia. Di sana, mereka bersorak, bergembira atas kemenangan dan kedaulatan yang telah bisa kembali mereka rebut.Â
Sepuas-puasnya menertawakan polah tingkah manusia yang dulu sebegitu kejamnya memperlakukan mereka; menganggap alat kelamin sebagai momok yang menakutkan, sehingga perlu dibuatkan perundangan khusus dengan dalih UU Pornografi. Menutup semua akses alat kelamin, bahkan sekedar memunculkan nama-namanya di ruang publik saja dilarang.
Salah satu peristiwa paling memicu kemarahan rakyat kelamin adalah saat salah satu petinggi negara paling berpengaruh di negeri ini terpergok memperkosa staff perempuan di kantornya. Demi menjaga kredibilitas hukum negara di mata rakyat, seolah tak pandang bulu, semua yang bersalah tetap harus diproses secara hukum. Siapapun, termasuk sosok yang sangat memiliki kuasa ini. Dan proses penyelidikan terus dilanjutkan hingga peradilan.
Saat proses peradilan, anehnya, hakim memutuskan alat kelamin petinggi tersebut yang salah. Alat kelaminnya divonis 10 tahun penjara, dan pemiliknya dinyatakan bebas karena dianggap tidak berkuasa atas kelaminnya sendiri