Pelbagai realita ikhwal tingkah pola anak didik yang semakin jauh dari jati diri bangsa indonesia, mensinyalkan bahwasanya pendidikan kita telah gagal membangun karakter serta jati diri bangsa pada anak didik.
Selama ini kita tahu, bahwasanya pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya membangun peradaban bangsa.
Akan tetapi, niai-nilai tersebut tidak dimafhumi secara baik dan semakin tererduksi akibat pola globalisasi, industrialisasi, dan kapitalis yang menitikberatikan pada persaingan individual dan membentuk sikap materialistis pada tiap manusia.
Pola-pola tersebut akan membentuk model pendidikan indonesia seperti industri kapitalis bukan institusi pendidikan yang harusnya membangun jiwa kemanusian.
Dengan model demikian, maka institusi pendidikan layaknya pasar yang mengedepankan persaingan, prestise, dan hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat kuantitatif.
Alhasil, anak didik tidak bisa untuk berpikir konstruktif, analitik, dan kritis, karena individu "sudah dibiasakan" untuk dipikirkan tanpa tahu makna aktivitas yang dilakukan.
Character Building yang salah satunya berkaitan dengan rasa kemanusiaan, sangat ditentukan dari pola pendidikan yang ada.
Boleh dikatakan bahwa pendidikan gaya bank yang dilakukan selama ini oleh pengajar dan yang diajar telah mereduksi dan mematikan sedikit demi sedikit rasa kemanusian, kepekaan lingkungan, dan hasrat untuk peduli terhadap sesama.
Jika kita berkaca pada kasus guru-murid yang berkahir pidana serta mudah sekali sesorang (bahkan yang masih sekolah) melakukan pembunuhan dan perkosaan.
Meski institusi pendidikan berdalih telah melakukan pembangunan karakter dengan mengajarkan melalui pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan, namun sesungguhnya mereka tidak melakukan hal tersebut.
Mereka hanya melakukan "transfer pengetahuan/teori" bukan transformasi nilai-nilai, budaya, dan pengetahuan yang sesungguhnya.
Kita tidak bisa memahami teori tanpa melakukan aksi sesungguhnya, dan pengetahuan tidak hanya berasal dari salah satu pihak saja namun kedua belah pihak (pengajar dan murid).
Untuk membangun pendidikan yang ideal dan benar-benar pendidikan untuk kehidupan adalah dengan merontokan pendidikan gaya bank tersebut.
Untuk itu dibutuhkan sistem pendidikan baru yaitu "problem-posing education"atau pendidikan hadap masalah yang menempatkan pengajar dan anak didik pada posisi yang sama.
Pengajar (guru/dosem) dan anak didiknya bersama-sama melihat realita dunia yang ada, melakukan observasi dan refleksi bersama.
Dengan demikian kedua belah pihak akan dapat mengembangkan kemampuan dan mengerti secara kritis pada dirinya serta dunia yang mereka tempati.
Sehingga, akan membangun kesadaran (conscientization) yang tidak serta merta menghafal dan acuh terhadap realita namun menelah realita yang ada dengan kritis, konstrustif, dan menggunakan rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H