Adalah tak etis jika janji hanya dijadikan sebagai propaganda politik semata untuk meraup dukungan rakyat. Sungguh tidak elok, jika janji diabaikan tanpa mengingat lagi orang-orang yang kepadanya janji itu pernah diberikan dan diucapkan.
Selain itu, sesungguhnya moralitas seorang dapat diukur dari sejauhmana dia mampu merealisasikan janjinya dalam penjabaran program kontekstual. Seorang calon wakil rakyat ataupun calon pemimpin yang me(lupa)kan janjinya tak pantas mendapatkan legitimasi sosial.
Karena itulah, kita berharap agar para calon wakil rakyat - pemimpin yang saat ini gencar-gencarnya mencari dukungan dan simpati publik tidak mendustai rakyat dengan janji-janji palsu.
Rakyat tak pantas didustai, sebab merekalah pemilik kekuasaan yang sah. Kekuasaan itu hanya diberikan kepada seseorang saat pemilu agar menjabarkannya lewat program liberatif.
Saat dia memberi janji, saat itulah dia sedang melakukan "perkawinan politik" dengan rakyat. "Perkawinan politik" tersebut "bermateraikan" imperatif etis-moral. Â Jika demikian, janji itu harus dipenuhi.
Sesuatu yang berkaitan dengan aspek etis dan moral, selalu melampuai kalkulasi politik pragmatis dan tidak bisa disejajarkan dengan kesepakatan biasa ataupun ukuran hukum positif. Janji seperti itu diikat oleh ketulusan nurani dan kepercayaan publik. Kekuatanya bersifat meta-pragmatik.
Seseorang yang melanggar janji politik pasti dihakimi oleh nuraninya sendiri, meskipun tampaknya dia biasa-biasa saja. Maka janji harus selalu direnungkan sebagai tuntutan etis-moral yang mengharuskan seseorang untuk mewujudkannya dalam kenyataan.
Sebagai penutup, kata demi kata yang pernah diucapkan menjadi janji, mesti direfleksikan ulang, diinternalisasi dan diartikulasikan lewat program demarginalisasi. Jangan sampai, hanya karena kuatnya "kehendak untuk berkuasa, mereka berusaha tampil seolah-olah altruis, tetapi kelak menjadi pengkhianat yang mengingkari janjinya.