Mohon tunggu...
Yusrin  TOSEPU
Yusrin TOSEPU Mohon Tunggu... Dosen -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Periset di LSP3I Region V Sulawesi Pusat Makassar. Ketua Lembaga Kajian Forensik Data dan Informasi KAVITA MEDIA Makassar Penggiat Literasi Media ICT (Information and Communication Technology)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat yang Tidak Ramah ataukah Politik yang Mengeras?

29 Juli 2018   14:23 Diperbarui: 29 Juli 2018   14:56 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan religius, santun dan bersahabat. Keramahan ini bukan hanya soal keramahan masyarakatnya, namun juga keramahan alamnya yang nan subur.

Keramahan adalah jati diri bangsa. Karena dengan keramahan ini, kebaikan dan perdamaian hidup akan bisa tercapai.

Globalisasi turut mempengaruhi masyarakat yang semakin modern, berefek pada sifat keramahan yang semakin tergerus. Alam pun juga demikian tidak bersahabat. Semakin seringnya terjadi bencana alam, banjir dan tanah longsor.

Masyarakat kita yang semakin membanggakan gaya hidup hedonis, radikal, dan cenderung brutal dalam penyelesaian masalah.

Begitupula dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi. Dalam rentang waktu 2014 sampai 2018 tersebut, perbincangan keseharian masyarakat masih dipenuhi dengan caci maki, ujaran kebencian sampai unsur SARA pun ikut terbawa. Kondisi tersebut potensial memunculkan konflik dan kegaduhan.

Simak perbincangan di dunia media sosial, seperti di grup Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya. Masyarakat kita telah biasa menggunakan fitnah untuk menjatuhkan pihak lain dan memberikan panggilan merendahkan.

Istilah "cebong" dan "kampret" semakin sering digunakan untuk perdebatan yang seolah tiada akhir. Label munafik pun gencar ditujukan kepada mereka yang berseberangan politik.

Bahkan ada saja sekelompok masyarakat yang merasa paling benar, seringkali mengasosiasikan kondisi Indonesia saat ini layaknya kondisi kaum alim melawan kaum kafir yang menggunakan surga dan neraka untuk melegitimasi sikapnya yang anti terhadap pihak lain.

Andaikan nanti di tahun 2019 nanti hanya memunculkan dua calon Presiden dan Wakil Presiden kembali sama dengan kondisi 2014, maka kegaduhan tersebut akan semakin berlanjut dan keramahan bangsa Indonesia semakin tergerus, terlepas siapapun yang menang.

Remaja dan pemuda yang dahulu sangat lekat dengan predikat pembawa perubahan sosial, saat ini semakin terpengaruh dengan hedonisme.

Bahkan anak-anak pun sudah terbiasa dengan kalimat dan konten yang mengandung unsur kebencian dan radikalisme. Mereka sudah gemar membenci pihak yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun