PROLOG
Tanah merah itu masih basah, dan hujan mulai turun. Aku tidak mau bergeming dari tempatku berdiri, aku ingin disana selama aku bisa. Aku ingin menemaninya selama mungkin. Dia disana, dibawah sana, sendirian dalam kegelapan. Harusnya aku yang disana, harusnya aku yang terkubur disana, bukan dia. Beberapa tangan menepuk bahuku, beberapa senyum sedih dan dukungan dilempar padaku, tapi tak ada yang membuatku merasa lebih baik.
Alisia Andara. Nama yang tertulis di nisan kayu itu. Nisan yang mulai basah karena hujan semakin deras. Orang-orang mulai pergi, isak tangis mulai memudar, dan tak ada yang ingin aku lakukan selain berdiri disini. Foto gadis itu masih di atas makamnya, dengan senyuman yang sama, senyuman yang aku sukai darinya.
“Alisia...” lidahku terasa kelu saat menyebut namanya.
Setelah semua orang pergi, air mataku mulai turun, ikut berbaur bersama hujan. Bagaimana bisa hujan juga turun? Hujan selalu jadi favoritnya, dan mungkin langit ikut bersedih karena dunia kehilangan satu gadis baik hati, putri dunia ini.
“Apa yang harus aku lakukan, Alisia?”
Hanya itu yang bisa kukatakan di hadapan makamnya. Tak ada jawaban, tak ada lagi jawaban yang ia selalu berikan setiap aku bertanya tentang apa yang harus aku lakukan. Air mata semakin mengalir deras di pipiku. Aku hanya bisa terduduk di sisi nisannya, menangisi kepergiannya. Gadis yang kucintai ada disini, tapi tak bisa terlihat lagi, tak bisa kudengar lagi suaranya.
Alisia...
SATU
Nino P.O.V
Dua tahun berlalu sejak kepergian Alisia, tapi rasanya dua tahun bukanlah waktu yang lama. Alisia masih terus membayangiku, dan tak ada yang berubah dengan diriku. Meskipun setelah kepergiannya aku memutuskan pindah ke Bandung dan tinggal dengan adikku, Ryfan yang masih kuliah tingkat akhir, rasanya tak ada yang berbeda.
Aku seorang fotografer untuk sebuah majalah. Ryfan saat ini sudah menjadi seorang dokter muda yang sibuk. Aku iri dengan kesibukannya, karena kesibukan bisa membuatku melupakan banyak hal, terutama lamunanku tentang Alisia.