Pendahuluan
Tradisi haul merupakan ritual keagamaan dan telah berkembang menjadi sebuah perayaan sosial yang bermakna. Tradisi haul seringkali dimaknai sebagai bentuk peringatan meninggalnya seorang ulama atau orang besar khususnya masyarakat NU(Nahdlatul Ulama) desa Kebagusan. Namun, sebagian masyarakat desa kebagusan tidak ikut serta dalam memperingati acara haul tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat dua aliran yaitu NU(Nahdlatul Ulama) dan MD(Muhammadiyah). Sementara itu, haul tidak  hanya menjadi momen untuk mendoakan saja, akan tetapi berperan penting dalam mempererat hubungan sosial dimasyarakat setempat. Upaya yang dilakukan untuk menigkatkan hubungan sosial budaya, yakni dengan mendorong masyarakat muslim untuk terlibat aktif dalam acara haul ini, baik sebagai peserta maupun sebagai panitia acara.
Adapun untuk meningkatkan hubungan sosial, maka dibutuhkan adanya solidaritas antara pengikut NU dengan MD. Solidaritas bisa diartikan sebagai rasa kebersamaan, kesatuan, kekompakan, dan kepedulian antara individu atau kelompok. Masyarakat desa Kebagusan dapat berkumpul dalam memperingati acara haul tersebut, yakni dengan suasana yang penuh rasa kebersamaan dan ikut berpartisipasi tanpa memandang status sosial. Melalui tradisi haul ini, masyarakat desa Kebagusan dapat meningkatkan hubungan sosialnya. Selain hal tersebut, ulama setempat juga berperan penting dalam meningkatkan kebersamaan masyarakat desa Kebagusan.
Pada dasarnya, peran ulama yaitu menyebarkan ajaran Islam. Berkaitan dengan peran ulama ini, panitia haul dapat mengundang ulama dari NU dan MD sebagai cara agar masyarakat dapat ikut serta dalam memperingati haul tersebut. Dengan demikian ulama memiliki kontribusi besar dalam menjaga harmoni dan solidaritas melalui dzikir, tahlil, dan do'a bersama.
Pembahasan
Tradisi Haul Sebagai Realitas Sosial
Pada dasarnya, tradisi haul bukan hanya perilaku agama saja, akan tetapi telah menjadi perilaku sosial atau disebut sebagai realitas sosial. Seiring dengan adanya perbedaan aliran antara NU dan MD, menjadikan tantangan bagi keduanya untuk melakukan hubungan sosial. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan agar terciptanya hubungan sosial dapat diatasi melalui tradisi haul tersebut. Haul bisa dikatakan sebagai proses ritual sosial keagamaan. Melalui tradisi haul ini, keduanya dapat membangun hubungan sosial atau konstruksi sosial. Masyarakat NU dapat mengundang aliran MD dalam tradisi haul ini, karena acara ini seringkali disisipi dengan acara-acara yang tidak berhubungan langsung dengan agama, seperti diadakannya berbagai aktifitas ekonomi dan hiburan, meskipun juga hiburan ini merupakan hiburan yang islami, seperti pembacaan shalawat Nabi yang diiringi musik hadrah. Namun dalam konteks ziarah (berkunjung ke makam dan mendoakan ahli kubur), rangkaian acara tersebut dimaksudkan untuk memeriahkan haul.
Tradisi haul ini tidak hanya sekedar berkunjung untuk ziarah, akan tetapi terdapat acara inti yang lebih bermakna sosiologis, yaitu refleksi sosial religius. Dalam acara ini, masyarakat dapat menghadirkan sejarah tokoh yang diperingati melalui ceramah agama yang telah diwakilkan salah seorang dari mereka untuk dapat mengambil pelajaran dalam kehidupan mereka, terutama berkaitan dengan kehidupan beragama. Dalam hal ini, seakan-akan mereka merasakan arwah tersebut hadir secara utuh bersama mereka, meskipun lebih dirasakan secara subjektif dengan cara masing-masing individu. Menurut Misri A. Muchsin, sejarah memiliki keserupaan satu sama lain, yaitu peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Peristiwa itu menandakan bahwa kehidupan manusia meninggalkan jejak yang tidak utuh bagi orang lain. Sehingga apa yang diungkapkan Berger tentang "Manusia dalam Masyarakat" adalah sebuah realitas sosial objektif yang diisi berbagai kesadaran subjektif individu.[1]
Â
Dengan demikian, maka tradisi haul bisa dikatakan sebagai tindakan sosial, bukan hanya tindakan agama semata, sebab didalamnya terdapat sejarah murni manusia. Menurut pandangan Max Weber terkait pelestarian tradisi haul yang terdapat di Desa Kebagusan, merupakan sebuah bagian dari suatu ilmu yang mampu memberikan pemahaman-pemahaman   terhadap tindakan sosial, yakni dengan cara menerangkan dan menguraikan sebab-sebab  tindakan sosial yang ada.[2] Akan tetapi, hal ini tidak dapat menjadi kesimpulan terhadap penjelasan sosiologis dari tradisi haul. Sebab, mayit yang diperingati merupakan seorang tokoh agama, atau paling tidak memiliki pengaruh terhadap keberagamaan masyarakat. Selain itu, haul juga terdapat nilai-nilai agama, seperti pembacaan ayat-ayat Al-Quran, tahlil, doa dan zikir, dan bahkan tidak jarang sebagian orang membakar kemenyan atau wangiwangian sewaktu berdzikir. Masyarakat biasanya memperingati acara haul sebagai tanda bahwa ruh yang telah meninggal, termasuk mayit yang diperingati, bahkan malaikat, hadir dan ikut berdoa bersama. Realitas tersebut tentu tidak bisa kita pisahkan dengan agama.