Dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) diumumkan Ibukota baru akan diberi nama "Nusantara." Hal tersebut diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat yang dilaksanakan pada 12 Januari 2022 lalu. Dilansir dari Kompas.com, Suharso mengatakan, "Ini saya baru mendapatkan konfirmasi dan perintah langsung dari Bapak Presiden yaitu pada hari Jumat. Jadi sekarang hari Senin, hari Jumat lalu, dan beliau mengatakan ibu kota negara ini Nusantara."
Akhir-akhir ini topik pemindahan Ibukota memang tengah ramai diperbincangkan. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa pemindahan Ibukota bukanlah sesuatu yang baru, baik bagi Indonesia maupun dunia Internasional. Sejak tahun 1918 hingga 2013 tercatat sudah 31 negara yang sukses melakukan pemindahan Ibukota. Selain itu, juga tercatat 35 negara dari berbagai benua aktif membahas rencana untuk memindahkan Ibukota negaranya. Pertimbangan politik, pertimbangan sosial-ekonomi dan pertimbangan fisik menjadi latar belakang secara umum negara-negara tersebut melakukan pemindahan ibukota.
Bagi Indonesia sendiri wacana serta gagasan pemindahan Ibukota telah ada sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jika ditarik jauh ke belakang gagasan pemindaan Ibukota telah ada ketika pemerintah Hindia Belanda yang merencanakan pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Bandung pada tahun 1906. Kemudian pada periode setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno sempat menggagas pemindahan Ibukota negara ke Palangkaraya pada saat peresmian Palangkaraya sebagai Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah pada tahun 1957. Hingga pada periode pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto sempat juga menggagas pemindahan Ibukota negara ke Jonggol, Jawa Barat melalui Keppres 1 tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandir
Dan yang cukup baru pada tahun 2010, ketika SBY masih menjabat sebagai Presiden ia menawarkan tiga skenario pemindahan ibukota. Skenario pertama adalah mempertahankan Jakarta sebagai ibukota, pusat pemerintahan, sekaligus kota ekonomi dan perdagangan. Skenario kedua, membangun Ibukota yang benar-benar baru. Kemudian skenario ketiga, Ibukota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain. Alasan pemindahan tersebut tidak jauh dari persoalan klasik Jakarta, Macet dan Banjir
Sejalan dengan SBY, Prof. DR. Raharjo Adisasmita dalam bukunya yang berjudul Logika Pemindahan Ibukota Jakarta. Memaparkan tiga alasan umum pemindahan Ibukota. Pertama, banjir Jakarta yang semakin basar akibat dari banjir kiriman Bogor dan Jawa. Kedua, pemukiman di bantaran sungai yang padat. Ketiga, penyedotan air bawah tanah yang sangat besar.
Setelah melalui proses dan pengkajian yang panjang Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (RUU IKN) disetujui menjadi Undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II pada tanggal 18 Januari 2022 lalu.
Dalam Pasal 2 Rancangan Undang-Undang tentang IbuKota Negara (RUU IKN) disebutkan, Ibu Kota Negara berkedudukan di Provinsi Kalimantan. Secara spesifik calon ibu kota baru nantinya akan berlokasi di antara Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Sebelum ditetapkannya Kalimantan Timur sebagai lokasi calon Ibukota baru terdapat Empat provinsi yang dianggap masuk ke dalam kriteria lokasi pemindahan ibukota. Di antaranya Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), dan Sulawesi Barat (Sulbar).
Selain Empat provinsi yang masuk kriteria tersebut ada beberapa provinsi lainnya yang juga mengusulkan agar daerahnya menjadi lokasi calon Ibukota baru. Tidak terkecuali Lampung. Selain telah memenuhi kriteria seperti keterjangkauan wilayah, ketersediaan dan status lahan, ancaman bencana, ketersediaan sumber daya alam, efisiensi, potensi konflik rendah dan memenuhi parameter pertahanan dan keamanan. Lampung juga memiliki banyak kelebihan yang menunjang untuk dijadikan lokasi calon ibukota.
Meskipun lokasi calon ibu kota baru telah ditetapkan tidak ada salahnya membayangkan Lampung menjadi Ibukota dan menghitung manfaat dan keuntungan apa saja yang didapatkan.
Pertama, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Lampung. Secara umum pemindahan Ibukota akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional dan PDRB Lampung. Kenaikan tersebut bersumber dari pemanfaatan sumberdaya daya potensial seperti pembukaan lahan untuk keperluan infrastruktur produktif dan pembukaan lapangan kerja bagi sumberdaya manusia terampil yang selama ini belum termanfaatkan.
Kedua, meningkatkan gairah usaha. Dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan, otomatis akan menciptakan satu kota metropolitan baru. Meskipun proses pemindahan Ibukota tidak mungkin dapat terwujud dalam waktu singkat.
Ketiga, meningkatkan kecakapan dan literasi digital masyarakat Lampung. Seperti diketahui  smart city merupakan konsep yang digunakan pada Ibukota negara yang baru. Dalam konsep smart city atau kota cerdas pemimpin dan masyarakat akan mampu mengambil keputusan yang optimal dengan berbasis data. Dengan adanya implementasi konsep tersebut akan menuntut masyarakat paling tidak untuk cakap menggunakan internet. Kecakapan tersebut meliputi kecakapan medium dan kecakapan konten. Kecakapan medium meliputi kemampuan navigasi pada saat mencari informasi tertentu melalui internet. Sedangkan kecakapan konten adalah kemampuan memilih, mengevaluasi dan mengaplikasikan informasi tersebut. Dengan adanya tuntutan tersebut tentunya akan mengharuskan pemerintah, akademisi dan elemen lainnya untuk mengadakan program literasi dan edukasi digital bagi masyarakat Ibukota.
Meskipun manfaat dan keuntungan tersebut didapat jika Lampung menjadi Ibukota tentunya tidak menutup kemungkinan akan terealisasi oleh pemerintah provinsi maupun kota. Sehingga provinsi Lampung tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H