Dua hari yang lalu lebih tepatnya Sabtu dan Minggu terakhir di bulan Mei saya menyelesaikan perjalanan singkat ke Kota Liwa, kabupaten Lampung Barat. Setelah minggu-minggu sebelumnya ke beberapa kota dan kabupaten lain, seperti Kabupaten Tenggamus, Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Metro hingga kemudian Liwa menjadi pilihan untuk didatangi selanjutnya.Â
Seperti biasa perjalanan tersebut bukanlah yang terencana dari jauh hari dengan tujuan yang cukup serius, melainkan dengan budget dan persiapan seadanya serta hanya sebagai pelepas penat.Â
Meskipun demikian sedikit banyaknya ada insigh atau wawasan baru dari perjalanan-perjalanan singkat saya, baik yang dapat langsung saya cerna atau perlu sedikit dipikirkan.Â
Satu contoh yang perlu sedikit dipikirkan bagi saya adalah dari hasil perjalanan ke Kota Liwa yaitu, banyaknya yang membandingkan hingga akhirnya merendahkan mereka yang memilih tidak pergi berwisata dan memilih rebahan. Kesimpulan semacam ini saya dapatkan dari pernyataan atau pertanyaan untuk sekedar mengkonfirmasi tanggapan saya.
Situasi Yang Mendukung
Sejak kapan hal demikian menjadi perbandingan? Atau sejak kapan masing-masing pilihan tersebut saling merendahkan? Tidaklah dapat saya temukan jawaban pasti, mungkin saja sejak manusia memiliki dan mengenal preferensi atau pilihan.Â
Terlepas dari pertanyaan tersebut, ada beberapa faktor atau kondisi yang mendiskriminasi pilihan tidak berwisata atau lebih memilih rebahan dengan segala kenyamanan bagi mereka yang memilihnya.Â
Pertama, kekayaan alam dan destinasi wisata. Tidak perlu ditekankan lagi bahwa Indonesia kaya akan sumber daya alam, hampir seluruh pihak mengakui dan dapat membuktikannya masing-masing. Kekayaan akan sumber daya alam dan potensinya tersebut tidak hanya dapat ditinjau dari sudut pandang komoditi yang dihasilkan (sektor primer), juga dapat dilihat dari pemanfaatan atau pengelolaannya sebagai destinasi wisata.Â
Potensi tersebutlah yang kemudian menghasilkan beragam destinasi wisata untuk dinikmati, mulai sekedar untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism) seperti mencari udara segar, memenuhi keingintahuan dan mengendorkan ketegangan saraf-saraf. Hingga untuk kebudayaan (cultural tourism) dengan tujuan berwisata yang lebih serius seperti mempelajari adat-adatistiadat hingga riset.
Kedua, pergeseran zaman. Sebagai manusia yang hidup di zaman post-modern ada cukup banyak perbedaan dengan masyarakat tradisional. Beberapa di antaranya yang cukup terlihat jelas adalah biasnya batas antara kebutuhan dan keinginan sehingga semakin sulit dibedakan satu dengan yang lainnya.Â
Ketika identitas sosial dan estetisasi kehidupan sehari-hari (aestheticization of everyday life) lebih dikedepankan akhirnya banyak hal yang dijadikan kompetisi dan ajang pamer, tidak terkecuali pergi berwisata. Singkatnya bahwa semakin jauh, banyak dan mahal tempat wisata yang dikunjungi derajat sosial mereka meningkat.Â