Suatu hari, ada seorang pria mengendarai sepeda motor. Pria ini melintasi jalan raya di salah satu Kota Jakarta. Pada saat mengendarai, pria ini di berhentikan oleh dua pria lain. Seketika pria pemilik motor ini kaget, lalu bertanya kepada dua pria tersebut, "kalian siapa?". Lalu di jawab oleh-Nya "saya debt collector". Kemudian, debt collector berbicara kepada pemilik motor "motor Anda kami tarik, karena Anda belum bayar tunggakan".
Dari peristiwa ini, terdapat 3 pihak, antara debt collector (penagihan kredit), leasing (perusahaan) dan lesse (konsumen) dengan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, debt collector tidak bisa bertindak sendiri atas penarikan motor, kecuali atas perintah leasing yang sesuai dengan kesepakatan perjanjian atau ketentuan perundang-undangan. Sebaliknya, Pihak leasing tidak bisa menggunakan debt collector begitu saja, tanpa prosedural yang telah diatur. Begitu juga dengan pengguna motor (konsumen), sebaiknya harus menaati perjanjian membayar dalam kredit motor tersebut.
Dari 3 pihak ini, tidak bisa dikatakan mana yang benar. Sebab, persoalan ini tentu ada klausul perjanjian awal, yang memang salah satu pihak tidak menaati (wanprestasi).
Kasus seperti ini, memang sering terjadi di khalayak umum. Terutama menggunakan pihak ketiga (debt collector) sebagai penagihan kredit secara paksa, karena pihak pengguna motor, belum bayar tagihan kredit. Kalau kejadian ini terus menerus dilakukan, akan menimbulkan dampak buruk. Baik itu dampak dari stigma kepada leasing atau perusahaan, maupun pihak yang mengkredit.
Berbicara lebih lanjut terkait penanganan kasus ini. Baiknya kita memulai dengan kalimat "tidak sembarangan jadi debt collector". Kenapa begitu?
Sebenarnya muncul kata debt collector, bukan hanya kehadiran sosok John Kei dan Hercules. Tapi debt collector adalah profesi yang telah muncul seiring dengan aktivitas kontrak perjanjian masyarakat. Di Indonesia, debt collector menjadi pekerjaan pribumi pada zaman Hindia Belanda. Kalau dilihat namanya sekarang, disebut debt collector. Mungkin hanya namanya saja berbeda, tapi melihat aktivitasnya sama, yaitu seseorang yang menagih hutang atas kehendak dari pihak yang memberi hutang.
Kata Debt Collector berasal dari bahasa Inggris. Kata debt berarti hutang dan collector berarti pengumpulan. Jadi kalau dibahasakan dalam keseharian disebut sebagai penagih hutang.
Masyarakat Indonesia, tidak asing lagi dengan pekerjaan debt collector. Aktivitas semacam ini, sebagian telah Lumrah dan marak di masyarakat. Atas maraknya pekerjaan debt collector ini. Pemerintah telah mengatur yang dimaksud dengan apa itu debt collector.
Secara pengertian dalam kedudukan hukum, kata debt collector tidak dikenal. Seperti dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, yang dimaksud dengan debt collector disebut sebagai penagihan kredit. Penagihan kredit di atur dalam pasal 61 ayat 1 POJK Nomor 22 tahun 2023, menyebutkan;
"PUJK dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kredit atau pembiayaan kepada Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)".