Palang pintu perlintasan sebidang tidak resmi atau liar sudah lama menjadi masalah yang hingga saat ini belum kunjung usai. Banyak kepentingan yang saling bertabrakan di dalamnya. Di satu sisi, mobilitas masyarakat terbantu dengan adanya perlintasan sebidang tidak resmi. Tapi di sisi lain, banyak yang beranggapan bahwa perlintasan sebidang tidak resmi perlu untuk ditutup karena cenderung berbahaya.
Dibalik pro dan kontra terkait apa sikap yang seharusnya diambil pada perlintasan sebidang tidak resmi ini, ada nasib para penjaga palang pintu perlintasan yang kadang terlupakan. Padahal, sebagian besar dari mereka mengandalkan pemasukan dari menjadi penjaga palang pintu perlintasan ini.
Memang apabila dilihat dari aspek regulasi, yaitu pada UU No. 23 Tahun 2007 dan peraturan Menteri Perhubungan No. 94 Tahun 2018, yang di dalamnya menyebutkan bahwa pintu perlintasan liar harus ditutup, bagaimana nasib para penjaga palang pintu juga tetap harus dipikirkan.
Karena para penjaga pintu perlintasan liar ini dapat dikatakan berjasa bagi mereka para pengendara yang melintas. Suryono (63), salah satu contoh penjaga palang pintu perlintasan liar di Kota Bandung. Ia sudah menjadi penjaga palang pintu perlintasan liar sejak tahun 1989.
Perlintasan sebidang yang ia jaga juga meskipun tidak resmi atau liar, tetap banyak pengendara yang memanfaatkan perlintasan tersebut sebagai akses utama. Karena para pengendara beranggapan bahwa perlintasan sebidang ini merupakan jalan yang paling cepat yang bisa mereka tempuh.
Berkaca pada hal tersebut, menjadikan perlintasan sebidang agar menjadi resmi dapat dijadikan opsi. Mempertimbangkan mobilitas masyarakat yang terbantu dengan adanya perlintasan tersebut.
Tidak hanya itu, nasib para penjaga palang pintu perlintasan juga harus dipertimbangkan. Ketika ditanya apa harapan mereka terhadap pemerintah, mereka berharap bisa dijadikan pegawai oleh KAI atau setidaknya diberikan upah yang layak.
Tentu hal tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, Dinas Perhubungan, dan PT KAI selaku pihak yang mengurusi perlintasan sebidang ini.
Ditambah lagi terdapat fakta di mana salah satu perlintasan sebidang tidak resmi yang berada di Jalan Parakansaat II, Kec. Arcamanik, Kota Bandung, memiliki 24 orang yang secara bergantian menjaga palang pintu perlintasan di sana selama 24 jam penuh setiap harinya. Hal ini sekaligus mengartikan terdapat 24 orang yang menggantungkan pemasukannya sebagai penjaga palang pintu perlintasan.
Sementara itu, data dari Daop 2 Bandung terdapat 28 perlintasan sebidang yang tidak resmi dan dijaga secara swadaya oleh warga sekitar. Maka dapat dibayangkan berapa banyak orang yang mengandalkan pemasukan dari menjadi penjaga palang pintu liar di perlintasan sebidang tersebut.
Menutup perlintasan sebidang yang tidak resmi memang perlu dilakukan jika menuruti peraturan yang ada. Bahkan, Daop 2 Bandung memiliki program kerja untuk menutup 24 perlintasan sebidang tidak resmi, yang 15 di antaranya sudah direalisasikan. Tapi nasib dari para penjaga palang pintu di perlintasan sebidang tersebut juga perlu dipikirkan.
Entah setidaknya memberikan upah yang layak, atau bahkan mengubah perlintasan sebidang tidak resmi itu menjadi perlintasan sebidang yang resmi karena hal tersebut memang memungkinkan untuk dilakukan, dan kemudian para penjaga palang pintu perlintasan ini dapat dipekerjakan oleh Dinas Perhubungan dengan berbagai pertimbangan yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI