[caption id="attachment_303667" align="aligncenter" width="520" caption="Ilustarsi kampanye. Sumber foto: http://www.anjarsolo1.com/"][/caption]
Kini sudah memasuki tahun 2014. Tahun ini bagi Indonesia akan bertajuk dan bertemakan "Indonesia Memilih". Sesuai jadual yang ditetapkan oleh KPU, tanggal 9 April mendatang akan diadakan Pemilu Caleg untuk periode 2014-2019 kemudian sebagai puncak dari ritual ini adalah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sebelum memasuki masa Pemilu Anggota Legislatif April mendatang, setiap bakal calon legislatif dan partainya akan berjuang habis-habisan menarik simpati dari masyarakat demi memeroleh dukungan dari rakyat sebagai pemilih dan meraup suara sebanyak-banyaknya. Proses ini disebut dengan Kampanye. Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Pada dasarnya kampanye terbagi atas dua yakni kampanye negatif dan kampanye hitam (black campaign). Kampanye negatif sifatnya menyerang pihak lain melalui sejumlah data atau fakta yang dapat diverifikasi dan diperdebatkan. Sedangkan kampanye hitam sifatnya lebih kepada menjurus ke implementasi propaganda yang bersumber dari rumor dan gosip.
Seiring berkembangnya zaman, model dan cara kampanye pun mengalami metamorfosis. Di Indonesia sendiri, cara berkampanye mengalami perubahan nilai dan perubahan gaya berkampanye. Namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Pada masa Orde Lama, Orde Baru, Pemilu 2004, dan pemilu 2009, peranan media elektronik tidak seheboh pemilu 2014 mendatang. Di sini nampak terjadi pergeseran cara berkampanye dari orasi langsung ke rakyat yang biasanya dilakukan di lapangan seperti yang terjadi di pemilu yang sudah-sudah, namun di pemilu mendatang (2014) peranan media elektronik seperti televisi akan lebih mendominasi. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Orasi adalah cara dan gaya yang lebih mendominasi saat berkampanye ketika itu. Pemilu sekarang (2014), para Caleg yang memiliki modal banyak biasanya melalui media elektronik untuk menyampaikan visi dan misi (baca janji) mereka.
Hal ini dapat kita temui dengan majunya beberapa pebisnis ke pentas politik seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, dan Global TV), Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV), di mana mereka yang disebutkan namanya akan maju dalam Pilpres 2014 mendatang. Tak heran profile mereka selalu ditayangkan tiap detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun. Cara dan gaya kampanye seperti ini sah-sah saja. Namanya juga Negara Demokrasi. Namun sebaiknya media elektronik tidak harus terus-terusan untuk menayangkan profile seseorang yang akan maju dalam pemilu mendatang baik Pileg maupun Pilpres. Dalam kasus seperti ini, peran media semakin tidak menentu dan sering terjadi persepsi negatif dari kalangan orang banyak. Saya jadi teringat dengan ucapan Goenawan Muhammad, “Beban moral media kini tak mudah, mengayuh biduk di antara karang-karang kepentingan politik dan dagang, di air yang keruh oleh dusta dan prasangka.”
Bagi Caleg yang memiliki modal nekat dan modal pas-pasan, mungkin akan mengeluarkan biaya yang fantastik jika berkampanye lewat media elektronik. Tak perlu risau dan galau, mungkin cara berkampanye yang lagi trend sekarang "blusukan" dapat dijadikan alternatif. Cara dan gaya kampanye ini dipopulerkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang, Jokowi. Beliau termasuk sukses menggunakan jurus blusukan ini saat Pilkada Jakarta. Gaya blusukan ini, seorang caleg dan capres nampak lebih merakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H