Saat itu, Hilwa berpikir bagaimana jika dia ikut pasaran di pesantren Ana saja. Selain penasaran tentang si ustaz, pesantrennya juga tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sebenarnya, pesantren Ana sangat dekat dengan sekolah Hilwa, hanya saja dia tidak pernah berkunjung dan tahu dimana tepatnya pesantren itu berada.
Keinginan Hilwa direstui kedua orang tuanya. Ia berangkat ke pesantren tersebut dan bertemu Ana di sana. Malam pertama, pengajian belum dimulai. Hanya saja,
Hilwa mendengar suara seorang lelaki yang iseng menggunakan microphone. Di dalam hatinya, Hilwa membayangkan lelaki yang iseng itu berambut panjang, berkulit sawo matang, dan suka melucu. Ana memberi tahu bahwa suara itu adalah suaranya Ustaz Hanan, ustaz yang sering diceritakan. Hilwa kaget dan semakin penasaran bagaimana sebenarnya sosok Ustaz Hanan tersebut.
Malam berikutnya, pengajian baru dilaksanakan. Para santri sudah duduk di majlis, termasuk Hilwa. Hilwa duduk dengan menundukan pandangannya, hanya melihat ke arah kitab saja.
Tanpa sadar, ternyata Ustaz Hanan sudah ada didepan dan mulai membaca kitab. Hilwa mengangkat kepalanya perlahan, daaannn apa yang terjadi? Dia kaget, tidak seperti bayangannya malam kemarin, ternyata Ustaz Hanan memang sangat tampan dan Hilwa langsung merasa ustaz itu adalah tipe-nya.
Kulit putih dengan mata sayu, kopiah atau songkoknya yang khas, suaranya yang juga khas, apalagi dengan kepintaran dan kefasihannya membaca dan menjelaskan kitab kuning lengkap sudah menjadikannya sebagai sosok yang dinanti Hilwa selama ini.
Sepulang pengajian, Hilwa langsung menanyakan nama akun media sosial ustaz Hanan. Stalking tentang beliau sama sekali tidak membuat Hilwa bosan. Sering sekali, Hilwa membuat cerita di facebook hanya sekedar ingin tahu ustaz Hanan aktif atau tidak.
Selama pengajian, santri putri yang full mengikuti setiap pengajian hanya sekitar 4 orang, yang lainnya masih sibuk di sekolah, sehingga Hilwa selalu duduk di depan dan merasa dekat dengan Ustaz Hanan.
Hilwa memang sosok pelajar yang aktif, sehingga setiap kali guru bertanya Hilwa selalu menjawab. Percakapan-percakapan singkat tidak disengaja yang hanya hasil sekedar di kelas, ditambah kepintaran ustaz Hanan yang semakin terlihat.
Ditambah lagi perangainya yang maasyaaAllah, beliau tidak pernah melirikkan matanya untuk melihat santri putri, penglihatannya hanya tertuju pada kitab, santri putra, atau terkadang terpejam, tentu saja membuat Hilwa semakin terkesan dan terpesona terhadap beliau. Kata orang, cinta itu tak butuh alasan, tapi menurut Hilwa tentu butuh alasan, diantaranya baik, pintar, dan tampan.
Sudah hampir satu bulan berlalu, rasa suka yang berubah menjadi rasa cinta Hilwa terhadap ustaz Hanan kian bertambah. Hampir di setiap tidurnya, dia selalu memimpikan bertemu dan bercakap-cakap dengan ustaz itu. Sampai pada akhirnya pasaran berakhir dan Hilwa kembali ke pesantren asalnya.