Sekadar catatan, di Nusa Tenggara Timur itu ada 1.192 pulau --besar dan kecil, berpenduduk dan kosong-- dan baru 430-an pulau saja yang sudah bernama. Kondisi ini tentu saja tantangan sangat berat yang hanya akan bisa diterobos degan militansi tinggi ala Om Damy dan para awak Pos Kupang yang dipimpinnya.
Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah "disekolahkan" Persda di beberapa koran di Jawa dan Sumatera. Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran.
Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang terlontar ke masa silam. Sampai pada proses pracetak, tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Jawa. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun! Seperti masa sekitar tahun 70-an.
Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami butuh waktu antara 6-7 jam! Mesin cetak semi manual yang hars melibatkan campur tangan manusia. Membalik kertas, memotong, mencetak, dan seterusnya.
Tiap malam puluhan orang --tetangga sekitar-- juga terlibat. Mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid delapan halaman itu!
Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin tua, ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci. Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya kambuh.
Sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!
Paranormal itu bermeditasi, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding baja mesin. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan.... seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang, sperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.
Selain soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung, kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pelabuhan masa itu dan angkutan laun belum tersentuh program tol laut seperti yang digenjot Jokowi.
Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan, belum bisa merapat.
Menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu Umbu Warandoy melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu.