PARA pemerkosa ternyata masih gentayangan. Di Kotawaringin Timur, Kalteng, seorang remaja putri diculik, disekap sejak awal Agustus lalu. Selama itu berulang kali ia diperkosa. Anak perempuan berusia belasan di Pangkalpinang, Bangka, diseret ke rimbunan gelagah sepulang nonton konser, lalu dinodai. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, seorang perempuan pelajar sekolah dasar jadi korban birahi gila seorang gaek!
Masih ada beberapa peristiwa serupa sepanjang “bulan kemerdekaan” ini, termasuk sekawanan lelaki muda –14 orang– yang mabuk minuman opolsan, kemudian menggagahi seorang remaja belia. Ini mengingatkan kembali pada wacana penerapan hukuman “kebiri” bagi para pemerkosa. Wacana itu, entah mengapa, surut dari percakapan publik, tergeser oleh isu-isu baru.
Kata ‘kebiri’ sempat mendadak populer beberapa waktu lalu. Pemilik hewan yang tak mau piaraannya beranak pinak, biasanya membawa binatang itu ke dokter hewan untuk mengebirinya. Ya, kebiri! Atau kastrasi, yakni tindakan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian bisa dilakukan terhadap hewan maupun manusia.
Di masa silam, orang yang dikebiri –biasanya lelaki– disebut orang kasim. Mereka sudah kehilangan kesuburan karena buah zakarnya telah dibuang, sengaja atau karena kecelakaan, jadi korban dalam peperangan, atau karena sebab lain.
Di masa depan, bisa jadi akan “banyak” orang kasim di tanah air. Setidaknya jika para penegak hukum menerapkan pasal-pasal pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemerintah memandang perlu menerbitkan peraturan ini menyambut kegelisahan, kegeraman dan tuntutan banyak pihak, menyusul kian marak dan kejamnya kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur. Bahkan ada bayi di bawah lima tahun yang jadi korban kekejaman para penjahat kelamin ini.
Catatan-catatan paling awal tentang pengebirian bisa dilacak jauh ke belakang. Pada suatu masa di abad ke 21 sebelum Masehi penguasa kota Lagash di Sumeria menerapkan “peraturan pemerintah” mengenai pengeberian atas para lelaki.
Selama ribuan tahun kemudian, orang kasim –lelaki terkebiri– melakukan berbagai fungsi di pelbagai kebudayaan. Pelayan istana atau pelayan rumah tangga, penyanyi laki-laki dengan suara tinggi, petugas-petugas keagamaan khusus, pejabat pemerintah, komandan militer, dan pengawal kaum perempuan ataupun pelayan di harem, biasanya dilakukan para kasim ini.
Karena itu orang Inggris menyebutnya eunuch, dari kata dalam bahasa Yunani, eune (tempat tidur) dan ekhein (menjaga) alias "penjaga tempat tidur". Para hamba atau budak biasanya dikebiri untuk menjadikan mereka pelayan yang “aman”di istana. Aman, karena mereka dianggap tak lagi punya birahi manakala melayani permaisuri, para selir, atu harem.
Catatan lain menyebutkan, oang kasim pertama disebutkan di Kekaisaran Asyur sekitar 850-620 SM. Mereka disebut-sebut jadi pelengkap istana para kaisar Akhemenid dari Persia maupun firaun dari Mesir.
Di Tiongkok kuno, pengebirian adalah salah satu bentuk hukuman tradisional dan sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana. Pada akhir Dinasti Ming konon ada 70.000 orang kasim di istana kaisar. Jabatan seperti itu demikian berharga, bahkan orang-orang kasim tertentu berhasil mendapatkan kekuasaan yang demikian besar sehingga melampaui kekuasaan perdana menteri, sehingga acap menimbulkan ketegangan.
Di India kaum hijra adalah para lelaki yang kehilangan penis maupun testisnya. Mereka biasanya mengenakan sari, atau pakaian tradisional yang biasa dikenakan kaum perempuan, dan riasan wajah yang tebal. Mereka dianggap membawa peruntungan baik dan karena itu diundang untuk memberkati pengantin pada hari pernikahan.
Kaum Galli, para pengikut Dewi Cybele, mempraktikkan ritual pengebirian diri sendiri, atau sanguinaria. Bahkan pada masa Kristen praktik ini tetap berlanjut; namun Gereja tidak mengikuti teladan dari teolog awal, Origenes, yang mengebiri dirinya sendiri berdasarkan pemahamannya tentang ayat-ayat pada kitab suci.
Sekte Skoptzi di Rusia pada abad ke-18 adalah sebuah contoh tentang penyembahan pengebirian. Anggota-anggotanya menganggap pengebirian sebagai cara untuk menolak dosa-dosa jasmani. Beberapa anggota dari sekte Pintu Gerbang Sorga juga dikebiri, dan tampaknya hal ini dilakukan dengan suka rela dan dengan alasan-alasan yang sama.
Nah, jika dilacak pada jejaknya, jelas sebagian besar tindakan kebiri atau pengebirian tidak bersangkut paut dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya. Sebagian di antaranya menunjukkan, kebiri sebagai tindakan sukarela demi pengabdian, bahkan penghambaan terhadap para dewa dan bagian dari pengamalan tentang apa yang diyakininya.
Zaman berganti, manusia berubah. Kini pengebirian jadi hukuman atas tindak kriminal buas, seolah dengan cara itu sang pelaku bisa jera dan tidak melakukan tindakannya lagi. Mungkin betul jika pemerkosaan hanya dilihat sebagai kejahatan bersenjatakan alat kelamin. Pemerkosaan jauh lebih luas dan rumit dari sekadar itu.
Ketika orang melampiaskan kemarahan, kebencian, penguasaan (hasrat mendominasi lawan) maka “senjata” apa pun bisa digunakan untuk menyerang dan merusak lawannya meski dia sudah kehilangan “alat utama sistem kejahatan birahi”-nya.
Jadi, sebaiknya pengebirian bukanlah akhir atau hukuman maksimum. Seorang pemerkosa, apalagi perusak anak-anak, harus dihukum seberat mungkin, dan kebiri sebagai “bonus” alias hukuman tambahan. Negara tak mungkin menjamin bahwa seorang penjahat kelamin tidak akan melakukan kejahatan serupa meski “alat kejahatannya” sudah disita! (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H