Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Bukan Gajah

23 Agustus 2016   19:05 Diperbarui: 23 Agustus 2016   19:11 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soal aliran dana, kami belum terima datanya. Kami mau jemput ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ), akan kami minta apakah benar ada data terkait Freddy? Aliran dana ke siapa saja? Ini juga kami mau tahu.

- Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Boy Rafli Amar, Sabtu (13/8/16).

GAJAH mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati? Tergantung siapa orangnya. Jika ia gembong narkoba seperti Fredy Budiman, maka yang ditinggalkannya adalah kehebohan. Setidaknya, itulah yang hari-hari ini berseliweran di tengah lini masa dan media.

Ya, Fredy sudah mati Jumat (29/7/2016) dini hari. Bersamanya, tiga dari 14 terpidana dieksekusi di Nusakambangan. Belakangan, kordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menulis di akun media sosialnya bahwa Fredy pernah menyatakan keterlibatan aparat-aparat penegak hukum dalam bisnisnya.

Tak ada yang aneh. Pengakuan Fredy kepada Haris, sejatinya adalah peneguhan tentang kasak-kusuk mengenai keterlibatan banyak pihak dalam pasar gelap narkotika di tanah air. Bahkan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso terang-terangan menyatakan hal itu di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI belum lama ini.

Di hadapan Komisi III DPR RI, di Jakarta, Kamis (4/2/2016), Komjen  Budi Waseso, menyatakan, satu di antara tantangan pemberantasan narkoba adalah adanya oknum aparat negara yang terlibat di dalamnya, termasuk aparat BNN sendiri.

Ia juga menegaskan tidak menutup kemungkinan pihaknya menghadapi  oknum TNI, Polri, dan BNN. " Faktanya ada. Harus kita lakukan tindakan tegas, kita bersih-bersih betul. Sulit memberantas kalau masih ada oknum di dalam jaringan itu," katanya saat itu.

Apa yang dikemukakan Kepala BNN ini tentu bukan isapan jempol, bukan mengada-ada, dan pasti bukan fitnah. Dengan demikian, apa yang “konon” disampaikan Fredy Budiman kepada Haris seolah memperkokoh pernyataan Budi Waseso di depan wakil rakyat tempo hari.

Haris mengutip pernyataan Fredy menuliskan, selama beberapa tahun menyelundupkan narkoba, Fredy sudah memberi uang setidaknya Rp 450 miliar ke orang-orang di BNN, dan sekurang-kurangnya sudah memberi Rp 90 milyar ke pejabat tertentu di Markas Besar Kepolisian RI. Belum lagi sogokannya kepada orang-orang di Bea Cukai, dan di kalangan tentara.

Tapi justru karena menyampaikan pengakuan sang gembong narkoba –yang sudah mati– itulah kini Haris bermasalah. Secara institusi, Polri, TNI dan BNN mengadukan tokoh itu ke polisi. Mereka menganggapnya menyebar fitnah dan mencemarkan nama baik lembaga.

Bisa jadi, realitas seperti inilah yang kian menambah pesimisme publik tentang pemeberantasan terhadap penyalahgunaan narkotika. Warga biasa jadi makin takut melibatkan diri manakala tahu ada aparat yang terlibat. Alih-alih direspon positif, malah terbalik jadi pesakitan.

Hal seperti ini diyakini banyak pihak jadi penyebab lemahnya upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Hukuman mati pun tidak membuat jera atau takut, karena persekongkolan antara pelaku dan para aparat sedemikian ruwet saling-silang berkelindan di tengah belantara hukum di tanah air, bisa saja meloloskan atau mengurangi hukuman para pelaku.

Bagaimana hukum bisa tegak jika aparat penegaknya ada yang terlibat sejak dalam penindakan, penyidikan, penuntutan, pembelaan, sampai jatuhnya vonis, bahkan sampai ke dalam penjara. Kepala BNN menyatakan di depan wakil rakyat, bahwa di dalam penjara pun para terpidana narkoba ini banyak yang mendapat layanan khusus, sehingga bisa tetap mengendalikan bisnisnya di luar.

Bisnis gelap narkotika memang melibatkan duit yang bergunung-gunung. Seorang pejabat pernah mengemukakan perkiraan, setidak-tidaknya tiap bulan Rp 6 triliun uang dibelanjakan untuk narkotika di seantero negeri ini. Data terakhir menunjukkan, omset pasar gelap narkoba di tanah air  pada 2013 sekitar Rp 48 trilyun per tahun, melesat jadi Rp 63 trilyun pada 2015!

Duit berkarung-karung ini tentu dengan mudah bisa membutakan mata siapa pun yang tipis iman. Apalagi kalau orang biasa, buta hukum pula, pasti dengan sangat mudah tergiur mendapatkan uang besar secara cepat.

Tentu saja para aparat akan mati-matian membantah, sebagaimana pada kasus Haris Azhar. Namun segera timbul kesan di masyarakat, bantahan itu justru memperkuat dugaan bahwa hal yang dibantah itulah yang sebenarnya terjadi. Ada kesangsian, keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikemukakan aparat.

Sikap publik itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman nyata tiap mereka berurusan dengan aparat penegak hukum. Pengalaman demi pengalaman itu terekam dalam ingatan kolektif dan jadi latar belakang cara pandang ketika menghadapi persoalan yang sama. Padahal publik sangat berharap terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun