Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Bukan Gajah

23 Agustus 2016   19:05 Diperbarui: 23 Agustus 2016   19:11 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisa jadi, realitas seperti inilah yang kian menambah pesimisme publik tentang pemeberantasan terhadap penyalahgunaan narkotika. Warga biasa jadi makin takut melibatkan diri manakala tahu ada aparat yang terlibat. Alih-alih direspon positif, malah terbalik jadi pesakitan.

Hal seperti ini diyakini banyak pihak jadi penyebab lemahnya upaya pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Hukuman mati pun tidak membuat jera atau takut, karena persekongkolan antara pelaku dan para aparat sedemikian ruwet saling-silang berkelindan di tengah belantara hukum di tanah air, bisa saja meloloskan atau mengurangi hukuman para pelaku.

Bagaimana hukum bisa tegak jika aparat penegaknya ada yang terlibat sejak dalam penindakan, penyidikan, penuntutan, pembelaan, sampai jatuhnya vonis, bahkan sampai ke dalam penjara. Kepala BNN menyatakan di depan wakil rakyat, bahwa di dalam penjara pun para terpidana narkoba ini banyak yang mendapat layanan khusus, sehingga bisa tetap mengendalikan bisnisnya di luar.

Bisnis gelap narkotika memang melibatkan duit yang bergunung-gunung. Seorang pejabat pernah mengemukakan perkiraan, setidak-tidaknya tiap bulan Rp 6 triliun uang dibelanjakan untuk narkotika di seantero negeri ini. Data terakhir menunjukkan, omset pasar gelap narkoba di tanah air  pada 2013 sekitar Rp 48 trilyun per tahun, melesat jadi Rp 63 trilyun pada 2015!

Duit berkarung-karung ini tentu dengan mudah bisa membutakan mata siapa pun yang tipis iman. Apalagi kalau orang biasa, buta hukum pula, pasti dengan sangat mudah tergiur mendapatkan uang besar secara cepat.

Tentu saja para aparat akan mati-matian membantah, sebagaimana pada kasus Haris Azhar. Namun segera timbul kesan di masyarakat, bantahan itu justru memperkuat dugaan bahwa hal yang dibantah itulah yang sebenarnya terjadi. Ada kesangsian, keraguan, bahkan ketidakpercayaan terhadap apa yang dikemukakan aparat.

Sikap publik itu sangat dipengaruhi oleh pengalaman nyata tiap mereka berurusan dengan aparat penegak hukum. Pengalaman demi pengalaman itu terekam dalam ingatan kolektif dan jadi latar belakang cara pandang ketika menghadapi persoalan yang sama. Padahal publik sangat berharap terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun