Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Grasi Ola dan Hukuman Mati

15 November 2012   08:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:19 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"SAYA sering dihinggapi bayangan, bagaimana kematian itu datang. Apakah di tiang gantungan, disuntik mati, disetrum, atau ditembak. Itu yang mengerikan..." kata perempuan bernama lengkap Meirika Franola pada suatu hari sepuluh tahun lalu, di Lembaga Pemasyarakatan Wanita (LPW) Tangerang, Banten. Ya, di penjara itulah Ola menghabiskan hari-hari. Mungkin sampai satu regu tembak mememutus kehidupannya, setelah presiden --yang berkuasa saat itu-- menolak mengampuni wanita asal Cianjur Jawa Barat ini. Tapi bayangan mengerikan itu mungkin tak akan pernah terjadi. Presiden saat ini, memberinya pengampunan dan mengubah hukuman mati atas Ola menjadi hukuman sumur hidup, melaui Keputusan Presiden No 35 Tahun 2011, tanggal 26 Septmber 2011. Nama dan kasus Ola pun kembali jadi pembicaraan banyak orang. Para pengamat, para pakar hukum dan para komentator entah siapa, menjadikannya topik debat di media. Terutama setelah terungkap dugaan bahwa mengendalikan bisnis narkoba dari balik dinding penjara. Ola divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000, karena terbukti membawa 3,5 kilo gram heroin dari London, Inggris, melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Ola tidak sendiri. Bersamanya ada tiga wanita lain, yakni Rani Andriani, Edith Yunita, dan Merry Utami. Rani, malah masih terbilang sepupu Ola. Mereka berkenalan dengan dunia narkotika tidaklah sebagai pecandu melainkan sebagai kurir, perantara, sekaligus pengantar barang. Merekalah yang membawa masuk berkilo- kilo heroin ke tanah air. Dilihat dari kasusnya, keempat ini sama-sama punya kontak dengan orang luar. Lebih spesifik lagi, berhubungan dengan orang-orang asing berkulit hitam. Malah, Ola adalah istri Mouza Sulaiman, asal Nigeria. Mouza tewas ditembak polisi yang mengejarnya. Ola ditangkap, diadili dan divonis mati. Mouza dan jaringannyalah yang kemudian menggunakan Ola dan Rani sebagai perantara. Bisnis ini memang menggiurkan. Di samping mendatangkan uang dengan cepat dalam jumlah besar, juga bisa membawa pelakunya berkelana ke berbagai negara. Setidaknya, mereka bisa mengunjungi negara-negara tempat mereka harus mengambil barang. Siapa tidak tergiur? Kerja ringan, bahkan bisa terbang kian ke mari, melancong dari satu ke lain negeri. Pulang dengan kantong tebal bisa membeli apa saja. Boleh jadi, orang-orang seperti Ola Cs ini akan rada sulit melepaskan diri, atau keluar dari lingkaran bisnis tersebut manakala ada kesempatan. Memang mereka sempat punya pikiran bahwa tindakannya itu melawan hukum. Ola, misalnya, menyatakan sempat menyadari ada risiko harus berhadapan dengan hamba-hamba hukum. Tapi, seperti juga Merry, Edith, dan Rani, ia menganggap hukum bisa diselsesaikan lewat jalan damai. Bergepok-gepok duit yang dengan mudah mereka peroleh, mereka anggap bisa membeli perkara. Mungkin ini pula yang menjelaskan mengapa dari dalam penjara pun ia dengan leluasa bisa mengatur lalu-lintas komoditas bisnisnya di luar sana, bahkan antarnegara. Ketika Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan dugaan adanya tangan-tangan mafia narkoba terkait keputusan grasi presiden atas Ola, sangat boleh jadi itu pulalah penjelasannya. Penjara tidak membuat jera. Vonis mati bagi para pelaku bisnis narkoba tampaknya juga tak bikin mereka miris. Buktinya, peredaran narkoba makin menjadi-jadi dari kota besar bahkan hingga ke pelosok-pelosok terpencil. Eksekusi mati pertama bagi terpidana kasus narkoba, terjadi pada 2004 atas seorang asing bernama Ayodhya Prasad Chaubey (65), yang berganti nama menjadi Muhammad Solihin setelah memeluk Islam pada 1996. Ia ditangkap lalu ditahan Polisi Medan, Februari 1994, pengadilan kemudian memutuskan hukuman mati. Selain Ayodhya masih ada setidaknya dua lusin lagi terpidana mati dalam kasus serupa yang --jika tidak ada perubahan hukuman sebagaimana yang dialami Ola-- mungkin akan segera menyusul dieksekusi. Banyak orang berpendapat, hukum mati bagi para pengedar narkotika memang selayaknya diterapkan agar siapa pun takut bermain-main dengan menyalahuganakan zat berbahaya yang bisa bikin ketagihan dan merusak --bahkan bisa membunuh orang yang salah menggunakannya itu. Pelaksanaan vonis mati memang bukan yang pertama dilakukan di tanah air. Setidaknya, sudah 32 terpidana mati dikirim ke alam baka. Delapan pelaku kriminal, dan 23 napi kasus pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia. Sejarah hukum Indonesia mestinya mencatat Kusni Kasdut (pembunuh dan perampok), Azhar bin Muhammad (pembajak pesawat Woyla, dieksekusi pada Februari 1991), atau Kacong Laranu, pembunuh yang dieksekusi pada Januari 1995. Vonis mati di Indonesia mengadopsi Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa pidana mati sebagai satu di antara bentuk pidana pokok dapat dijatuhkan kepada pelaku makar, membunuh kepala negara, hingga pembunuhan berencana. Sedangkan untuk perbuatan kriminal di luar KUHP diatur dalam sejumlah undang-undang, antara lain UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang penyalahgunaan narkotika. Hukuman mati, juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Inilah yang memungkinkan hakim menjatuhkan vonis mati bagi para terpidana dalam kasus bom bali, misalnya. Ada pula UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga mencantumkan pidana mati. Namun sejauh ini belum ada terdakwa kasus korupsi yang divonis hukuman mati, apalagi yang sampai dieksekusi. Vonis mati bisa dijatuhkan dalam peradilan umum maupun peradilan militer dan berbentuk hukuman tembak. Pasal 11 KUHP menjelaskan bahwa 'hukuman mati dilaksanakan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan, sampai terpidana mati." Pada kenyataannya, meskipun belum pernah ada pencabutan pasal 11 tersebut, eksekusi hukuman mati selalu dilakukan regu tembak. Hukuman mati terdapat di seluruh belahan bumi sebagai warisan hukum sejak awal peradaban manusia. Namun seiring dengan perkembangan peradaban, masyarakat dunia mulai mempertimbangkan kembali hukuman mati. Ada yang secara resmi meninggalkannya, ada pula yang masih tetap memberlakukannya namun dengan teknik kematian yang dipandang lebih 'manusiawi.' Dilihat dari kasusnya, membiarkan orang-rang seperti Ola Cs dan jaringannya beroperasi dengan bebas, tentu saja tidak benar. Bukan tak mungkin, secara tidak langsung, para pebinsis narkoba ini juga pernah "membunuh" melalui barang diedarkannya. Orang kelebihan dosis, mati. Orang ketagihan, merampok, terbunuh, mati. Orang teler, celaka di jalan, mati. Karena itu, boleh jadi, banyak yang setuju agar orang-orang seperti mereka dihukum mati saja karena telah membunuh --entah dalam arti fisik, psikis, maupun sosial ekonomi-- banyak orang yang telanjur kecanduan narkotika. Tapi apakah dengan mematikan orang-orang macam Ola, peredaran obat bius, narkotik dan sejenisnya secara ilegal kemudian akan mati juga? Membunuh orang, apa pun alasannya, tetaplah salahm karena kehidupan adalah hak Sang Maha Pemilik Hidup, sebagaimana kematian merupakan hak mutlak Sang Pemilik Maut. Kata orang, mematikan orang itu gampang. Yang sulit adalah memberi kesempatan hidup bagi orang yang sudah layak dimatikan agar ia mengerti makna kehidupan. Toh, Sang Maut akan datang sendiri menjemputnya menuju kehidupan tanpa kematian. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun