[caption id="attachment_318310" align="alignleft" width="196" caption="Para jamaah sedang bersiap melakukan tawaf..."][/caption]
HARI kedua, letih luar biasa. Setelah perjalanan panjang dari Madinah, dilanjutkan umrah hingga menjelang dini hari, kembali ke hotel saya langsung tepar. Rasanya baru beberapa saat terlelap ketika merdunya azan subuh seakan berdengung di dalam kepala. Rupanya suara empuk dari Masjidil Haram itu ditata sedemikian rupa dan didistribusikan hingga ke kamar-kamar dan lorong hotel.
Belakangan baru saya sadari bahwa pengeras suara canggih --jumlahnya pasti ribuan-- dipasang merata di segala ruang bangunan-bangunan di sekeliling Masjidil Haram. Alhamdulillah, saya dapat tempat menginap yang amat strategis, di ketinggian pencakar langit tepat di seberang gerbang Masjidil Haram.
Dari jendela menara Zamzam ini, kami bisa leluasa menatap Kabah dan semua aktivitas di sekelilingnya. Jadi, andai salat di kamar pun serasa persis di depan Kabah.
Pagi hari, kami keluar untuk sarapan dan jalan-jalan sekadar mengenal lingkungan. Saya terpana. Di sini tak seperti di Madinah. Kawasan di sekitar Masjidil Haram demikian padat dan sesak oleh gedung-gedung jangkung. Sebagian besar adalah hotel-hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan dan toko-toko.
Zamzam Tower seolah jadi penanda baru Kota Makkah. Menara ini menjulang angkuh seperti berhala bertanduk yang sedang menggoda anak-cucu Ibrahim di tengah kekhusyukan ibadah. Saya membayangkan, dahulu Ibrahim menghancurkan satu persatu Latta, Uzza, Hubal dan Manat -- berhala-berhala yang menggoda iman umatnya.
Saya juga teringat kutipan --kalau tak salah, dari sebuah hadits-- yang menyatakan ketika Nabi Muhammad SAW memasuki Kota Makkah, saat itu di sekeliling Kabah terdapat 360 berhala. Mudah-mudahan saja segala simbol modernitas ini tidak jadi berhala baru yang menggoda umat Muhammad.
Hotel Zamzam Tower yang dikelola Pullman –sebuah jaringan hotel internsional– jadi pusat tata ruang kosmopolis di depan Masjidil Haram. Ia diapit empat hotel yang tak kalah canggih –cuma kalah tinggi– yakni Al Safwah Royale Orchid, Moevenpick Hajar, Dar Al Tawhid Intercontinental, dan Swiss Hotel Makkah.
Kelima hotel ini jadi satu kesatuan dengan pusat perbelanjaan ultramodern, sehingga ketika berada di dalam kompleks superblok ini, saya tidak merasa sedang di Tanah Suci tetapi seperti sedang di mal-mal di mana pun, hanya saja di sini jauh lebih besar dan lengkap. Perbedaan lain, semua orang yang berlalu lalang di dalamnya berbusana muslim.
Gerai-gerai produk ternama berkelas internasional, mencolok di hampir setiap sudut pusat belanja yang gemerlap, mewah dan wangi ini. Susananya seakan memubat orang merasa berada di dua alam sekaligus, antara hedonis kapitalistik dengan simbolisasi religik.
Spirit Muhammad dipersatukan dengan birahi kapitalisme lewat sosok Bin Ladin, pemegang hak monopoli megaproyek restorasi Kota Makkah. Dua kutub ekstrem antara foya-foya dan ibadah, hanya dibatasi pintu kaca otomatis.
Saya merasakan aura keagungan Kabah saat kita berada di Masjidil Haram, seolah langsung menguap begitu masuk ke gerbang Menara Zamzam yang sekaligus sebagai lobi terpadu bagi berbagai aktivitas bisnis modern dengan berbagai simbolnya itu.
Deretan lift, tak kurang dari dua puluh di semua sisi --tiap lift berkapasitas 51 orang-- seperti tak pernah berhenti naik-turun memuntahkan dan memasukkan penumpang. "Acara" perburuan lift pun bagi saya ada tontonan menarik, karena banyak di antara pengguna dan calon pengguna, seperti tak terbiasa disiplin mengantre. Setidaknya, kalau semua sadar untuk selalu tertib, tak akan terjadi dan peristiwa-peristiwa lucu dan konyol.
Tak sempat lama berjalan-jalan. Ini Jumat. Teringat pesan Mas Imam, mutawif kami, jika mau jumatan lebih dekat ke Kabah, harus datang lebih pagi. Betul saja. Saya merasa sudah sangat dini ketika pukul 10.30 bergegas turun dari kamar. Tiba di depan deretan lift, ternyata orang sudah berjubel.
Saya terasing di tengah jubelan manusia dari berbagai bangsa di depan elevator itu. Dan, merasa mendapat berkah ketika dari sisi kanan ada yang mencolek dan bertanya dalam bahasa yang saya kenal, “Assalamualaikum, sendiri saja, Mas?” Ternyata Anton Apriantono, mantan Menteri Pertanian. Dia bersama dua rekannya, sama bergegas dengan saya untuk memburu tempat dekat Kabah.
Kami pun menyatu dengan ribuan orang mengalir dari berbagai penjuru, menuju satu titik, Kabah. Subhanallah, saya yang merasa sudah berangkat lebih pagi ternyata terlambat. Masjidil Haram sudah sesak. Askar sibuk mengatur orang-orang dan menghalau siapa pun yang duduknya menghalangi lalu-lalang orang lain.
Kami terpisah, Pak Anton terbawa arus jemaah di depan saya. Saya sedang mencari-cari ruang kosong ketika seorang askar menghardik dan menyuruh saya minggir, atau duduk di saf terdekat. Ia menunjuk ke ruang di sela orang-orang, maksudnya mungkin “Tuh masih ada tempat, kamu duduk di sana. Jangan menghalangi lalu lintas.”
Saya pun melangkah, ke tempat yang ditunjuknya. Di depan orang berkemeja batik. Nah, kebetulan ada saudara. Pasti dari Indonesia. Baru saja mau duduk, orang berbatik yang tadinya tampak khusyuk berzikir ini, menengadah. Melotot, dan bicara cukup keras. “Jangan! Itu tempat teman saya. Sana, cari tempat lain...!”
Astagfirullah, dibentak dan diusir saudara sendiri. Dengan susah payah, saya melangkah lagi meninggalkan saf itu. Baru saja kaki menginjak gang untuk lalu-lalang, askar tadi menghardik lagi menyuruh pergi.
Pada saat yang sama, seorang jemaah yang duduk persis di sisi gang, menggeser tubuhnya yang tinggi besar dan menarik tangan saya, menyuruh duduk di sebelahnya. Alhamdulillah. Saya berterima kasih. Lalu salat sunat.
Sambil duduk saya lirik orang tinggi besar berkulit pucat ini, mencoba mencari tanda-tanda dari mana dia berasal. Pada emblem pengenal yang dikalungkannya, saya melihat logo bendera negara Albania. O, ya. Bukankah Kalifah Usmaniyah pernah menguasai negara jazirah Balkan itu. Alhamdulillah, berkat saudara dadakan dari tetangga Kosovo ini saya bisa salat dengan tumaninah, di depan Kabah!
Si Albania ini lebih memiliki empati ketimbang si Batik tadi. Saya teringat cerita mengenai muslim Albania yang mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan dan melindungi orang-orang Yahudi dari kekejaman rezim Hitler. Di negeri kita, karena dianggap beda, orang-orang Ahmadiyah diuber-uber, dianiaya bahkan ada yang dibunuh. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H