Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Tersesat” ke Tanah Suci (3): Hitam, Zamzam!!

4 April 2014   02:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13965272021713367555

[caption id="attachment_318320" align="aligncenter" width="579" caption="Logam pembingkai Hajar Aswad di Museum Kabah"][/caption]

UMRAH kedua dilakukan hari berikutnya. Kali ini kami memulai dari Ji’ronah, satu di antara tempat bersejarah letaknya di luar Kota Makkah. Tempat ini pernah disinggahi Rasulullah SAW bersama para pejuang Islam setelah Perang Hunain. Sebagai penanda, didirikanlah masjid sekaligus sebagai tempat miqat, mengawali ritus haji atau umrah.


Sejak awal saya sudah berpasrah diri, mengikuti saja yang dipandukan oleh para mutawif  kami, Mas Imam dan Mas Nur. Imam, pria asal Klaten, Jateng yang keluarganya tinggal di Bogor, Jabar. Sementara Nur berasal dari Surabaya, Jatim.  Mereka amat sabar dan melayani dan menjelaskan berbagai hal terkait kegiatan yang kami lakukan.

Seusai miqat di Masjid Ji’ronah, kami kembali memasuki Makkah, dan memulai kembali ritual umrah. Tak ada yang istimewa, karena cuma mengulang yang sudah kami lakukan sebelumnya. Bedanya, kali ini udara lebih dingin dan terasa menusuk meski matahari ‘mencorong’ tajam.

Alhamdulillah tujuh putaran tawaf seolah tak membuat letih. Padahal saat itu jamaah  membeludak, baku desak luar biasa, sampai ada seorang perempuan yang menjerit histeris karena terjepit gelombang manusia dari segala arah.

Gelombang massa dalam histeria transendensi terhadap Sang Khaliq, sangat terasa manakala tawaf mendekati Hajar Aswad. Semua orang seakan tersedot ke celah kecil di sudut Kabah itu, berlomba mencium atau sekadar bisa menyentuh batu yang asal-usulnya masih terbungkus misteri ini.

Banyak orang melakukan segala macam cara untuk mewujudkan hasratnya mencium Hajar Aswad. Mendesak, menyikut, mendorong, kalau perlu menginjak orang lain pun seolah tak apa.

Bagi mereka yang kreatif, ini jadi peluang usaha. Beberapa orang menyediakan dirinya menjadi pemandu untuk mencium sang batu hitam. Biasanya dalam kelompok kecil, dua atau tiga orang. Mereka akan bertugas sebagai penerobos jubelan manusia, membukakan jalan dan melindungi dari sisi kiri kanan jika ada orang lain yang menyerobot. Tarifnya, minimal 150 real sekali cium.

Sebagian orang yakin, itu batu dari surga. Sebagian lain menyatakan batu itu sejenis meteorit yang jatuh di bumi ribuan tahun silam. Hajar Aswad sudah ada saat Nabi Ibrahim membangun Kabah. Konon, semula ukurannya cukup besar, diameternya sekitar 30 sentimeter. Tapi batu ini sudah mengalami beberapa kali jadi barang jarahan, bahkan dipecah-pecah.

Ada yang menyebutkan, satu serpihannya disimpan di museum geologi Inggris sebagai bahan penelitian. Situs Al-Arabiya mengutip pernyataan Ahmad Moraei, profesor dari Umm al-Qura University menyatakan, yang kini tersisa di Kabah bukan batu utuh seperti saat Nabi Ibrahim membangun Kabah, namun hanya beberapa fragmen. Dan, fragmen itu disatukan semen.

Berbagai penelitian dilakukan, hingga kini belum ada yang bisa mengungkap dengan jernih mengenai batu di Rumah Allah ini. Teori Hajar Aswad adalah serpihan meteorit, terbantah oleh fakta bahwa komposisinya sama sekali berbeda dengan kompisisi aneka meteorit yang pernah ditemukan di bumi.

Ada yang tetap pada perkiraannya bahwa Hajar Aswad adalah batuan meteorit, namun bukan meteor yang berasal dari tata surya kita. Bukan dari galaksi Bima Sakti, melainkan dari galaksi lain yang entah bagaimana bisa masuk ke bumi ribuan tahun silam. Wallahu’ alam!  Yang jelas, batu itu telah menghisap umat Islam sedunia untuk mendekatinya, mengusapnya, atau bahkan menciumnya, untuk menghirup wangi yang abadi.

Mereka yang meyakini teori bahwa batu ini berasal dari sorga, menyatakan karena menghisap dosa-dosa umat manusia yang setiap saat menyentuh dan menciumnya itulah, batu ini jadi hitam legam. Semula, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, batu ini berwarna putih, melebihi putihnya susu, kata Mas Imam.

Saya bersyukur, sambil tetap menggandeng lengan Mas Imam, melakukan tawaf tanpa hambatan sama sekali, bahkan terasa lapang. Tak banyak berkeringat, artinya tipis kemungkinan alergi gatal-gatal karena biang keringat kambuh. Jadi dengan leluasa pula kami tuntaskan tawaf, lalu bergeser ke Shafa untuk memulai Sa’i.

Tiba-tiba saja “bencana” itu datang! Rasa gatal mulai menyerang permukaan kulit. Mula-mula di sekitar pangkal lengan, merambat ke bawah siku sampai pergelangan. Kiri, dan kanan. Sekitar dada, punggung, pundak. Sisi paha bagian dalam, betis, bahkan tulang kering, merambat sambai ke punggung khaki.

Astagfirullah!! Saya sibuk sendiri garuk sana, gosok sini. Dalam tempo seingkat bermunculan bintik-bintik merah di permukaan kulit yang kena gosok atau garuk. Masya Allah, gatalnya mengigit, panas, seperti dibalur balsem.

Mungkin betul kata banyak orang, di Tanah Haram, apa yang kamu khawatirkan dan kamu takutkan, itulah yang terjadi.

Rasanya seluruh pori mengeluarkan virus gatal. Saya menyelesaikan rute Marwah-Shafa sambil tak henti menggaruk dan menggosok, sampai Mas Imam keheranan. Saya tunjukkan ‘telur ikan’ yang tiba-tiba merata di beberapa bagian tubuh saya.

“O, nggak apa-apa Mas. Itu karena kedinginan,”  katanya sambil merogoh ke dalam tasnya, lalu menyerahkan sebutir pil putih dan menyuruh saya meminumnya dengan air zamzam. Ketika saya tanya, pil apakah itu? Dia cuma bilang, “Sudah, minum saja dan jangan pikirkan lagi gatal-gatalnya.”

Sambil terus beristigfar, saya mengutuki diri. Mungkin saya terlalu kotor untuk jadi Tamu Allah. Tapi karena Dia juga sesungguhnya saya bisa tiba di Tanah Haram. Ampuni hambamu yang kotor ini Ya Allah, dalam hati saya berulang-ulang mengatakan itu sambil mulut terus membeo ucapan-ucapan mutawif  bersa’i.

Subhanallah, betul. Serangan itu perlahan-lahan menyurut. Saat tiba kembali di hotel, saya buka keran air dan penuhi bak pemandian dengan air panas, untuk berendam. Muncul gagasan untuk mencampurkan segelas zamzam ke dalam air mandi itu, kebetulan masih ada sisa zamzam di botol pemberian Mas Imam.

Alhamdulillah, sampai kembali ke tanah air, saya terbebas dari serangan gatal lagi. Apakah itu karena khasiat pil dari mutawif, atau karena Zamzam? Wallahu’alam. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun