Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Tersesat” ke Tanah Suci (3): Hitam, Zamzam!!

4 April 2014   02:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13965272021713367555

Mereka yang meyakini teori bahwa batu ini berasal dari sorga, menyatakan karena menghisap dosa-dosa umat manusia yang setiap saat menyentuh dan menciumnya itulah, batu ini jadi hitam legam. Semula, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, batu ini berwarna putih, melebihi putihnya susu, kata Mas Imam.

Saya bersyukur, sambil tetap menggandeng lengan Mas Imam, melakukan tawaf tanpa hambatan sama sekali, bahkan terasa lapang. Tak banyak berkeringat, artinya tipis kemungkinan alergi gatal-gatal karena biang keringat kambuh. Jadi dengan leluasa pula kami tuntaskan tawaf, lalu bergeser ke Shafa untuk memulai Sa’i.

Tiba-tiba saja “bencana” itu datang! Rasa gatal mulai menyerang permukaan kulit. Mula-mula di sekitar pangkal lengan, merambat ke bawah siku sampai pergelangan. Kiri, dan kanan. Sekitar dada, punggung, pundak. Sisi paha bagian dalam, betis, bahkan tulang kering, merambat sambai ke punggung khaki.

Astagfirullah!! Saya sibuk sendiri garuk sana, gosok sini. Dalam tempo seingkat bermunculan bintik-bintik merah di permukaan kulit yang kena gosok atau garuk. Masya Allah, gatalnya mengigit, panas, seperti dibalur balsem.

Mungkin betul kata banyak orang, di Tanah Haram, apa yang kamu khawatirkan dan kamu takutkan, itulah yang terjadi.

Rasanya seluruh pori mengeluarkan virus gatal. Saya menyelesaikan rute Marwah-Shafa sambil tak henti menggaruk dan menggosok, sampai Mas Imam keheranan. Saya tunjukkan ‘telur ikan’ yang tiba-tiba merata di beberapa bagian tubuh saya.

“O, nggak apa-apa Mas. Itu karena kedinginan,”  katanya sambil merogoh ke dalam tasnya, lalu menyerahkan sebutir pil putih dan menyuruh saya meminumnya dengan air zamzam. Ketika saya tanya, pil apakah itu? Dia cuma bilang, “Sudah, minum saja dan jangan pikirkan lagi gatal-gatalnya.”

Sambil terus beristigfar, saya mengutuki diri. Mungkin saya terlalu kotor untuk jadi Tamu Allah. Tapi karena Dia juga sesungguhnya saya bisa tiba di Tanah Haram. Ampuni hambamu yang kotor ini Ya Allah, dalam hati saya berulang-ulang mengatakan itu sambil mulut terus membeo ucapan-ucapan mutawif  bersa’i.

Subhanallah, betul. Serangan itu perlahan-lahan menyurut. Saat tiba kembali di hotel, saya buka keran air dan penuhi bak pemandian dengan air panas, untuk berendam. Muncul gagasan untuk mencampurkan segelas zamzam ke dalam air mandi itu, kebetulan masih ada sisa zamzam di botol pemberian Mas Imam.

Alhamdulillah, sampai kembali ke tanah air, saya terbebas dari serangan gatal lagi. Apakah itu karena khasiat pil dari mutawif, atau karena Zamzam? Wallahu’alam. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun