Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Madinatun Nabawi (1): Seperti Mimpi

2 April 2014   22:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_318172" align="aligncenter" width="648" caption="Payung-payung raksasa di halaman Masjid Nabawi, saat ditutup suatu senja di awal Maret 2014."][/caption]

SETIAP hari, ada saja rombongan urang Banjar pergi umrah. Liturgi setahap di bawah ibadah haji ini, seolah sesuatu yang amat biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi saya tidak. Ini seperti mimpi. Hingga menulis catatan ini pun, sensasi keluarbiasaan pengalaman ini masih terasa. Saya masih belum yakin atas apa yang tiba-tiba saya alami: Umrah.

Selain awam soal agama yang tercantum pada KTP (kartu tanda penduduk), saya pastilah bukan termasuk orang saleh dan taat menjalankan syariat. Salat saja masih belang-bonteng. Puasa pun mungkin cuma diganjar lapar. Ibadah lain? Entahlah. Tiba-tiba saya diundang ke Baitullah, Rumah Allah, dengan begitu mudah.

Ada rasa panik. Kahawatir. Malah takut. Apalagi mendengar kisah pribadi orang-orang yang pernah pergi ke Tanah Suci. Bahwa, segalanya serbanyata di sana. Semua tindak-tanduk, perkataan, pikiran, langsung jadi kenyataan. Bahkan laku langkah kita sebelumnya, konon akan dapat imbalan ‘kontan’ di Tanah Haram. Hadeh!!!

Orang-orang yang sudah mendedikasikan dirinya sedemikian rupa dalam kehidupan keagamaan saja, masih memerlukan dan melakukan aneka persiapan batiniah menjelang kepergian ke Tanah Suci agar pelaksanaan ibadah mereka lancar dan sempurna. Apalagi yang sudah menyiapkan diri melaksanakan niat ibadahnya. Lha, saya? Doa paling sederhana pun mungkin tak sempurna kalau saya lafalkan.

Akhirnya saya renungkan kembali. Pasrah sajalah. Ikhlas. Jalani saja yang harus dijalani. Dan, itulah yang terjadi. Tanpa persiapan apa pun yang terkait ibadah umrah, kecuali sekali ikut manasik ringkas, saya bulatkan tekad untuk berangkat.

Tak ada rasa letih ketika kaki menjejak pelataran Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Saudi Arabia, Minggu (9/3/14), setelah sembilan jam penerbangan  dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, dan masa penantian  hampir enam jam saat transit di bandara itu setelah satu setengah jam terbang dari Banjarmasin.

Tepat seperti digambarkan  Agus Arianto dan Sugiannor dari Travellindo, saat manasik lima hari sebelum pergi, ujian pertama adalah kesabaran menghadapi para petugas imigrasi di Jeddah. Betul saja.

Rombongan kami, 48 orang termasuk seorang balita dan beberapa orang yang sudah sepuh, tiga di antaranya bahkan harus dibantu kursi roda, setelah perjalanan sekian panjang itu masih harus menanti lagi sekitar tiga jam sebelum mendapat pelayanan  petugas imigrasi. Itu pun dengan kualitas layanan yang terasa sangat lamban, seperti ogah-ogahan. Tapi kami mencoba memahami situasi mereka, yang sepanjang hari tanpa kenal lelah menerim tamu-tamu Allah dari berbagai penjuru dunia.

Saya bisa membayangkan, ini pasti belum seberapa jika dibanding saat musim haji, saat jutaan orang serentak datang via Jeddah. Bersama rombongan lain yang satu pesawat, kami menghabiskan waktu untuk beristirahat. Sebagian di antaranya, sibuk bertransaksi dengan para penjaja kartu perdana provider setempat, Mobily, agar bisa segera berhubungan dengan sanak famili di tanah air.

Ini era informasi. Pulsa menjadi kebutuhan utama selain sembilan bahan pokok. Di ruang tunggu terminal kedatangan, sebelum pemeriksaan imigrasi, setidaknya ada tiga pemuda yang menjajakan dan melayani para pelanggan yang ingin berganti kartu telepon seluler mereka. Kartu perdana seharga 40 real untuk paket seminggu, dijual 50 real!

Persis seperti pedagang real yang sibuk melayani penukaran rupiah di ruang tunggu keberangkatan saat transit di Bandara Soekarno Hatta. Mereka melepas satu real seharga Rp 3.400. Sementara saat pulang sepekan kemudian, gerai penukaran uang di tempat yang sama mematok kurs Rp 2.800 untuk satu real yang tersisa dari Tanah Suci. Ya, real dan pulsa seolah jadi keniscayaan.

Bahkan di dalam pesawat pun, disediakan layanan sambungan bagi mereka yang memerlukannya, tentu dengan tarif khusus internasional. Tak ada lagi batasan ruang dan waktu. Pada saat bersamaan, di ruang yang terpisah ribuan kilometer orang tetap dapat dengan mudah saling behubungan.

Komunikasi sudah jadi kebutuhan mutlak. Saat hendak berkomunikasi dengan Tuhan di rumah-NYA pun, manusia tak bisa terputus komunikasi dengan sesamanya. Ini sekaligus membuka peluang bisnis bagi mereka yang jeli membaca situasi, sebagaimana gairah menyempurnakan ibadah ke Tanah Suci juga membuka pasar yang demikian luas bagi para pebisnis jasa perjalanan wisata dan turunannya. Mulai dari para penyedia perlengkapan keperluan ibadah, hotel, jasa boga, transportasi lokal, hingga jasa pemandu atau mutawif.

Dan, kepada pemandu pula saya pasrahkan segala kepapaan saya dalam tata-titi liturgi yang kemudian nanti dijalani selama di Rumah Allah. Puji Tuhan, dua pemandu kami, Mas Imam dan Mas Nur sudah demikian profesional.

Begitu lepas dari bandara, mereka menyambut dan melayani kami dengan telaten dan penuh perhatian, sampai kami tiba di Royal Dyar, hotel tempat menginap kami selama di Madinah, persis di seberang  gerbang Masjid Nabawi.

Subhanallah. Saya masih seperti mimpi saat menatap masjid itu dari gerbangnya sebelum beristirahat di hotel. Hati tergetar menatap kemegahannya di keremangan malam dalam sejuknya sapuan angin gurun. Tanpa disadari, mata saya berkaca-kaca. Akhirnya tiba juga di masjid yang dulu hanya saya kenal lewat buku-buku dan tafsir berbagai referensi ini.

Ya, hanya lewat referensi tekstual seperti itu, 26 tahun lalu atau pada 1988 saya menyusun naskah dan syair ‘Balada Tahun Baru Hijrah’ untuk siaran nasional keagamaan lingkung seni Lingga Binangkit di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Satu di antara syair itu berjudul Madinatun Nabawi yang lagunya digubah Mutohar dan musiknya diaransemen oleh Purwatjaraka:

Madinatun Nabawi,
Madinatun Nabawi,
Inilah Kota Nabi,
Inilah Kota Nabi.....!!

Ketika itu saya tak pernah berani bermimpi bahwa suatu saat akan menginjakkan kaki di Tanah Yatsrib. Tanah yang menjadi tempat hijrah Sang Rasul Allah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun