[caption caption="buku yang mengisahkan kehidupan warga Mollo"][/caption]
DI berbagai konferensi internasional, orang-orang berkisah tentang bagaimana menyelamatkan lingkungan. Seluruh perangkat ilmu pengetahuan telah dikeluarkan demi menemukan jawab atas perubahan iklim yang terus menggerus bumi. Seluruh pengetahuan yang disarikan dalam berbagai jurnal ilmiah diurai dan dibedah demi menemukan jawab atas bumi yang kian renta dan rawan dengan bencana.
Nun jauh di pedalaman Timor Tengah Selatan, tepatnya di Mollo, warga lokal telah lama merawat bumi dengan penuh kasih. Mereka tak pernah membaca jurnal ilmiah, tapi mereka terus merawat pengetahuan tentang alam semesta sebagai tubuh manusia yang harus dijaga dan dilestarikan. Tak hanya merawat, mereka juga melawan korporasi dan negara yang mencaplok bumi dengan aktivitas tambang.
Hebatnya, mereka tak melawan dengan bedil dan senjata. Tak juga dengan bom molotov ataupun melempar polisi, sebagaimana dilakukan para mahasiswa yang kerap kali merasa dirinya intelektual hebat. Para perempuan Mollo itu membawa alat tenun. Hah?
Amazing!
***
DI salah satu acara yang tayang di Metro TV, saya menyaksikan perempuan hebat bernama Aleta Baun. Sepintas, ia serupa dengan ibu-ibu lain yang saban hari kita saksikan di berbagai desa-desa di tanah air. Siapa sangka jika Aleta Baun pernah memimpin ribuan orang, yang kebanyakan di antaranya adalah perempuan, untuk menduduki kawasan tambang.
Di tanah Mollo, pencaplokan tanah telah lama menjadi lagu yang dituturkan warga desa. Dalam buku berjudul Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim yang ditulis Siti Maemunah dan terbit pada tahun 2015, saya menemukan betapa kompleksnya kehidupan yang dialami masyarakat lokal. Tanah-tanah mereka dicaplok perusahaan dan negara, demi kepentingan akumulasi modal.
Kawasan pegunungan itu kaya dengan sumberdaya alam. Beberapa perusahaan yang didukung oleh pemerintah daerah datang ke situ untuk mengeruk hasil alam. Di saat bersamaan, masyarakat lokal telah lama mendiami kawasan pegunungan itu dan menjadikannya sebagai mata rantai keseimbangan alam.
Yang dlakukan perusahaan adalah menyingkirkan masyarakat lokal dengan dalih kepemilikan lahan. Masyarakat disingkirkan, dijauhkan dari lingkungannya, dipinggirkan dari semesta ekologis yang telah didiami turun-temurun.
Perusahaan lalu membor bumi, mengeruk isinya, lalu membiarkan masyarakat bergelut dengan bencana. Perusahaan melihat alam sebagai komoditas bernilai tinggi yang bisa memperbesar pundi-pundi dan kekayaan pribadi.