Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Merawat Bumi di Timor Tengah Selatan

16 September 2015   11:04 Diperbarui: 16 September 2015   11:11 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara bagi masyarakat, alam adalah bagian dari semesta yang harus dijaga kelangsungannya. Tindakan perusahaan itu dilihat sebagai tindakan yang menginjak-injak kepercayaan masyarakat. Penambangan marmer itu dilihat sebagai tindakan untuk membingkar dan mencuri batu-batu suci milik masyaraat adat.

Sejak dahulu, masyarakat memiliki kepercayaan turun-temurun tentang fungsi tanah, batu, pohon, dan air. Orang Mollo percaya bahwa keempat elemen ini punya fungsi yang sama dengan tubuh manusia. Air melambangkan darah, batu melambangkan tulang, tanah adalah daging, dan hutan-hutan adalah ambang dari kulit, paru-paru, dan rambut. Kepercayaan ini digambarkan dalam kalimat “fatu, nasi, noel, afu amasat a fatis neu monit mansian”, yang artinya “Batu, hutan, air, dan tanah bagai tubuh manusia.”

[caption caption="Aleta Baun (foto: http://www.lifemosaic.net)"]

[/caption]

Di tengah-tengah krisis itu, Aleta tampil ke depan. Ia memimpin berbagai suku-suku untuk menyatakan protes. Ia dibantu banyak anak muda yang menjadi kurir untuk menghubungi semua tetua adat yang tersebar di puluhan desa. Ia mengorganisi masyarakat, menggalang kebutuhan logistik untuk perjuangan.

Tanggal 3 Juni 2000, ia bersama ribuan orang menduduki kawasan itu selama dua bulan. Aksi ini adalah aksi terbesar yang pernah dilakukan masyarakat adat. Ia memimpin lebih dari seribu ibu-ibu yang datang ke pegunungan dnegan membawa alat tenun. Mereka menduduki kawasan pegunungan itu selama dua bulan, sekaligus menyampaikan sikap bahwa pemilik gunung-gunung itu adalah masyarakat adat, yang selama ini melihat semua gunung itu sebagai bagian dari semesta yang mendukung kesinambungan ekologis. Bahwa manusia hanyalah noktah kecil yang mendapatkan manfaat dnegan lestarinya pegunungan. Aksi itu berhasil mengusir perusahaan itu ke luar pegunungan.

Persoalan tak lantas berhenti. Pemerintah mengeluarkan izin bagi tambang batu lainnya. Pada 15 Oktober 2006, kembali Aleta Baun memimpin ribuan mama-mama dan perempuan muda untuk menduduki kawasan tambang dengan membawa alat tenun. Mereka merayakan Natal di kawasan itu. Seorang pendeta memberikan ceramah tentang pentingnya menjaga lingkungan dan alam semesta. Kembali, perjuangan ini berhasil.

Yang menakjubkan adalah kemampuan penduduk desa memilih aksi menenun sebagai upaya menyatakan protes. Bagi masyarakat setempat, menenun adalah cara untuk memahami alam semesta. Identitas masyarakat bisa terbaca dari tenunan. Di dalam setiap motif tenun, terdapat berbagai makna dan simbol yang menggambarkan filosofi masyarakat. Bahkan, tenun juga menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan.

Melalui aksi menenun itu, para perempuan Mollo menunjukkan relasinya dengan alam melalui berbagai bahan pewarna alami, serta material untuk membuat kain yang semuanya berasal dari alam. Melalui tenun itu, perempuan Mollo hendak menegaskan kemandirian mereka untuk memenuhi smeua kebutuhannya. Mereka ingin meneriakkan pesan bahwa “Kami tak butuh korporasi dan secuil keuntungan itu. Kami sanggup memenuhi kebutuhan kami. Bahwa alam semesta amat pemurah serupa ibu yang menyediakan semua kebutuhan.”

Aksi ini mengingatkan saya pada konsep satyagraha dari Mahatma Gandhi di India yang menyatakan protes melalui aksi menenun sendiri pakaian yang hendak dikenakannya. Menenun menjadi cara baru untuk menyampaikan sikap tentang kemandirian dan sikap untuk tidak tergantung pada bangsa manapun. Hanya dnegan kemandirian, satu bangsa bisa menentukan jalannya sendiri, tanpa harus didikte oleh bangsa manapun.

Nampaknya, inspirasi gerakan sosial tak selalu harus didapatkan dari sosok hebat seperti Gandhi di India. Di sekitar kita, tepatnya di Timor Tengah Selatan, kita bisa menemukan butiran inspirasi yang akan memperkaya batin kita tentang betapa digdayanya masyarakat saat menyatakan protes.

Yang dilakukan Aleta dan perempuan Mollo adalah sekeping jalan keluar dari krisis global serta ancaman bencana yang muncul akibat perubahan iklim. Hanya dnegan cara merawat alam, menjadikannya sebagai bagian dari manusia, lingkungan bisa terselematkan sehingga bisa memberi makna bagi masyarakat luas. Ketika manusia melihat alam sebagai obyek, maka bencana demi bencana bisa hadir. Alam bisa menghukum keserakahan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun