Di tengah belantara kota, di tengah hamparan manusia-manusia yang mengejar karier dan prestasi, di tengah banyaknya orang-orang yang memikirkan pencapaian materi, terdapat sejumlah anak muda yang mendapatkan bahagia melalui penjelajahan ke pulau-pulau terjauh.
Tak sekadar melakukan perjalanan dan memosting foto-foto di media sosial, mereka menjadi aktivis yang melakukan misi-misi penting untuk memberikan fasilitasi, pendampingan, dan penguatan pada masyarakat di tempat terpencil itu. Mereka mendedikasikan dirinya untuk mencintai alam, mengalir dalam gerak semesta, dan mewariskan bumi yang hijau untuk generasi mendatang.
***
Selama tiga hari, lelaki Ali Sasmirul menyusuri hutan, memasuki rimba raya Kalimantan, demi menemukan jejak orangutan. Bersama rekan-rekannya pada tim ekspedisi yang berada di bawah naungan The Nature Conservancy (TNC), ia melacak jejak orangutan lalu menyusuri habitatnya.
Perjalanan itu tak serupa ekspedisi menemukan harta karun. Ali dan temannya tak hendak menangkap, menjual, hingga mengekspor orangutan ke negara tetangga. Mereka ingin memahami hewan itu, berusaha untuk bersahabat dengan primata itu, lalu memahami suara-suara lirih orangutan yang kian tergusur dari habitatnya. “Perjalanan itu cukup berbahaya. Kami nekad melakukannya,” katanya.
Dari Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur, Ali menyusuri beberapa perkampungan Dayak. Di kampung-kampung itu ia menyerap kisah bahwa pada setiap musim buah, warga kampung kerap kali diganggu oleh orangutan yang juga datang untuk mengambil buah. Makanya, warga kampung kerap membawa tombak, mandau, parang, sumpit, dan anjing pemburu demi berjaga-jaga.
Barangkali Ali merasa masygul. Ia tahu persis bahwa posisi orangutan kian terjepit. Rumah rimba kian sempit akibat meluasnya pemukiman manusia. Yang lebih parah adalah hutan rimba menjadi konsesi yang diperuntukkan bagi banyak perusahaan sawit, pemegang hak pengelolaan hutan, hingga perusahaan tambang terus-menerus mengeruk bumi Kalimantan. Faktanya, hutan semakin sempit. Orangutan kekurangan bahan makanan, lalu masuklah mereka ke perkampungan penduduk demi mengambil buah, yang dahulu adalah hak mereka.
Perjalanan lalu dilanjutkan. Ali dan kawan-kawannya menelusuri Sungai Segah dengan perahu katinting. Perjalanan itu menjadi berbahaya sebab sungai Kalimantan mengalir deras dan banyak batu-batu cadas. Setelah itu, mereka lalu masuk hutan hingga kawasan perbukitan. Mereka menyaksikan sendiri betapa ruang hidup orangutan semakin terbatas.
Perjalanan itu gagal menemukan orangutan, tapi Ali dan rekan-rekannya belajar banyak hal tentang betapa kritisnya bumi, dan betapa menyedihkannya menjadi orangutan yang kian kehilangan ruang. Namun, ketimbang menyalahkan perilaku manusia, jauh lebih baik melakukan sesuatu untuk mengembalikan alam sebagai rumah bersama bagi seluruh entitas mahluk bumi.
***
Kisah ekspedisi menemukan orangutan itu saya temukan dalam buku Sekolah di Atas Bukit, Kumpulan Kisah Inspiratif tentang Pengalaman Konservasi di Kalimantan Timur, terbitan Gramedia (2015). Buku ini memuat kumpulan kisah yang ditulis para aktivis konservasi saat menelusuri sisi paling dalam dari tanah air, merasakan denyut alam yang semakin melambat, lalu menyusun langkah-langkah antisipasi untuk menyelamatkan bumi di masa depan.
Bagian yang paling menarik buat saya adalah suka-duka saat memasuki rimba, menyaksikan langsung hutan yang tak seindah gambar-gambar di iklan keberhasilan pemerintah, lalu menyusun program untuk membumikan impian-impian kecil untuk bumi yang lebih baik dan lebih sejuk bagi semua pihak. Langkah-langkah kecil kaki anak muda ini digerakkan untuk mengenali alam, menelusuri sisi paling menarik tanah air, lalu menemukan diri mereka di situ sebagai noktah kecil di tengah semesta alam yang amat luas.
Di buku ini, saya menemukan kisah menarik dari Gilang Ramadhan, seorang volunteer yang mengembangkan kurikulum untuk muatan lokal bagi warga pedalaman hutan. Ia mencatat dengan rapi bagaimana kondisi sekolah-sekolah di pedalaman yang sungguh miris. Ia menulis tentang guru yang bertugas di pedalaman namun berumah di kota serta keterbatasan jumlah pengajar. Di beberapa sekolah di atas bukit, ia hanya menemukan dua guru yang mengajar. Jumlah ini sangat jauh dari ideal untuk meningkatkan kapasitas intelektual anak-anak.
Bagian paling dramatis adalah ketika Gilang menemukan satu surau yang tetap kosong pada saat salat Jumat. Ia bertanya mengapa surau itu kosong. Ia mendapat jawaban yang cukup mngiris hati. Guru mengaji yang terbiasa menjadi imam salat serta mengajari anak-anak di surau itu telah meninggal dunia. Hingga kini, tak ada yang bisa menggantikan sang guru. Surau itu menjadi sepi, bukan karena tiadanya guru mengaji itu, namun karena tiadanya satupun kader atau penerus yang bisa meneruskan semangat relawan dari sang guru. Surau itu sepi karena tiadanya kepedulian dan hasrat berpetualang dari para guru yang lebih suka bermukim di kota.
***
Buku ini membersitkan kesadaran bahwa kegiatan konservasi pada dasarnya kegiatan yang selalu terkait dnegan masyarakat. Mustahil untuk menjaga alam semesta tanpa melibatkan partisipasi dari masyarakat lokal. Posisi para fasilitator dan peneliti hanyalah datang untuk satu program, dan setelah itu akan berpindah untuk menjalani misi yang lain. Makanya, penguatan masyarakat serta pendampingan sangatlah penting agar kelak mereka bisa menjadi penyelamat bumi dan semesta.
Buku ini menunjukkan bahwa kegiatan konservasi adalah kegiatan penuh daya hidup. Para penggiat konservasi adalah para penyelamat kehidupan yang harus berakrab-akrab dengan segala ketidaknyamanan di alam demi menemukan daya-daya hidup satu lingkungan yang akan disebarkan ke mana-mana.
Satu hal yang tak saya temukan di buku ini adalah upaya advokasi kepada pihak korporasi perkebunan dan pertambangan. Studi yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa para pelaku perkebunan dan pertambangan inilah yang lebih banyak membuat kerusakan alam sebab dikuasai oleh hasrat mencari untung di tengah rimba-raya. Para korporat ini kerap membuat peta konflik di masyarakat, kongkalikong dnegan pelaku kepentingan lain, lalu merusak bumi untuk kepentingan jangka pendek. Merekalah musuh nyata yang dengan mudahnya ditemukan di lapangan.
Idealnya, buku ini juga menyajikan fakta-fakta mendebarkan ketika para aktivis bertemu dengan para pelaku kepentingan itu. Maka kegiatan konservasi tak selalu berupa wisata melihat alam, lalu menumbuhkan ikhtiar untuk menjaganya, tapi juga misi-misi yang menyisahkan duka-duka dari mereka yang berada di garda terdepan untuk melindungi bumi dan melindungi masyarakat adat.
Seusai membaca buku ini saya lalu berguman, bahwa pelaku konservasi adalah mereka yang menanam idealisme, lalu menjaga tanaman itu hingga kelak menjadi pohon rindang yang berbuah manis bagi alam. Tentu saja, buah manis itu tidak hanya dirasakan oleh mereka, tapi seluruh masyarakat dunia yang setiap harinya membutuhkan udara segar dan lingkungan yang baik untuk tumuh dan berkembang.
Bekerja untuk koservasi adalah bekerja untuk keabadian demi masa depan yang lebih baik. Saya sepakat dengan pernyataan bahwa tujuan kita merawat alam adalah untuk mewariskannya kepada anak cucu kelak. Sebab mereka pun berhak atas bumi yang hijau dan lestari, yang kelak akan kita wariskan.
Bogor, 23 Juli 2015
BACA JUGA:
Senyum Getir Nelayan Raja Ampat
Penafsir Bintang di Pegunungan Sulawesi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H