“Biarlah abah saja yang jadi petani. Asep harus jadi orang sukses. Dia harus berhasil,” kata Abah Rully, ayah Asep. Lantas, hendak dikemanakan sawah luas yang selama ini menjadi sandaran kehidupan? “Sawah itu akan dijual setiap saat kalau Asep butuh tambahan ongkos untuk sekolah.”
***
DI Jakarta, Presiden Joko Widodo berkali-kali menyebut tentang target lahan sejuta hektar serta terwujudnya swasembada pangan. Pemerintah menganggap kebutuhan pangan adalah hak dasar warga negara yang harus segera dipenuhi. Krisis pangan adalah bencana yang bisa memicu ambruknya tatanan sosial yang bisa menjungkalkan rezim.
Jika penduduk berjumlah 250 juta orang dan setiap hari warga mengonsumsi 0,1 kilogram pangan, maka kebutuhan pangan yang perlu disediakan per tahun adalah 90 juta ton. Nah, bisakah target ini dicapai ketika lahan pertanian semakin menyempit, dan tak banyak lagi pemuda yang bersedia menjadi petani demi menyuplai kebutuhan pangan nasional. Dalam kurun waktu lima tahun, ada 5 juta Rumah Tangga Pertanian (RTP) yang tidak lagi berprofesi sebagai petani dan lahan pertanian alih-fungsi.
Di hadapan kita tersaji fakta yang sangat menggiriskan ketika anak-anak muda justru menolak jadi petani dan memilih ke kota demi hidup yang lebih baik. Di saat bersamaan, kondisi petani kita sangat memprihatinkan. Petani tidak mendapatkan perhatian dan kepedulian yang serius, baik pada porsi anggaran maupun pada porsi kebijakan yang memberdayaan. Yang terjadi adalah: (1) Tidak tersedia SDM yang cukup, (2) Tidak tersedia jaminan akses modal, (3) Tidak tersedia jaminan akses pasar (4) Sarana infrastruktur yang kurang, (5) Tidak tersedia teknologi yang memadai. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan akan terjadi ancaman bagi kedaulatan pangan yang bisa melemahkan sendi-sendi kebangsaan kita.
Memang, di tanah air kita, kisah-kisah tentang pertanian adalah kisah tentang klaim dan nestapa. Di satu sisi pemerintah selalu mengklaim keberhasilan menggenjot sektor pertanian, keberhasilan menciptakan swasembada pangan, serta menanamkan slogan tentang pertanian sebagai sokoguru kehidupan masyarakat.
Tapi di sisi lain, pertanian menyisahkan kisah-kisah nestapa tentang nasib para petani yang tak bisa beranjak dari lembah kemiskinan. Profesi ini identik dengan kemiskinan dan kebodohan. Banyak di antara petani yang memang tidak punya lahan. Mereka mengolah sawah milik orang lain dengan perjanjian untuk saling berbagi hasil, namun semua biaya produksi menjadi tanggungan petani.
***
ASEP hanyalah satu dari begitu banyak anak muda yang tak tertarik untuk kembali ke sektor pertanian. Pekerjaan besar yang mesti kita lakukan bersama adalah kembali menjadikan desa menjadi kekuatan utama dalam tananan kebangsaan kita. Itu bisa berarti bagaimana mengembalikan peran desa sebagai payung besar yang menaungi semua kalangan, termasuk kalangan generasi muda.
Ketika Asep enggan bekerja di sektor pertanian, maka itu pertanda tentang begitu banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mencapai swasembadapangan. Pada akhirnya, pembangunan bukan sekadar tolok ukur fisik dan material, namun lebih ke arah bagaimana terpenuhinya kebutuhan mendasar sebagai seorang warga negara. Pembangunan memiliki dimensi budaya yang mencakup tercukupinya kebutuhan sebagai manusia, dan tercapainya satu kondisi yang memanusiakan manusia. Tanpa itu, pembangunan pertanian hanya menjadi slogan yang hanya kencang diucapkan saat kampanye, namun minim realisasi.