Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Jepang di Sawah Kita

14 April 2015   08:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka membangun Noji Shinkeyo (Stasiun Percobaan Pertanian) di Bogor. Beberapa insinyur dan peneliti Jepang lalu merekomendasikan untuk mengganti bibit padi yang dipakai petani pada masa itu. Sebab bibit padi itu dianggap tidak bisa menghasilkan produksi yang besar. Insinyur Jepang menggantinya dengan beras horai dari Taiwan.

Kenji dan para insinyur lain lalu merancang inovasi teknik. Salah satunya adalah teknik penanaman dengan garis-garis lurus pada jarak tanam tertentu. Teknik ini disebut larikan. Sebelum perang, para petani Jawa menanam padi secara acak dan tidak mengikuti garis lurus. Jepang melihat cara menanam itu mempengaruhi rendahnya produktivitas padi. Mereka memerintahkan agar petani mengikuti cara petani Jepang, yakni mengikuti daris lurus.

Setelah melalui serangkaian percobaan yang dilakukan para insinyur negeri matahari terbit itu, didapatkanlah jarak tanam yang ideal adalah 20 centimeter antar padi. Untuk menjaga agar jaraknya sama, maka petani diminta memegang tali panjang dengan simpul pada setiap jarak 20 cm. Petani lain diminta menanam padi pada setiap simpul tersebut. Jepang juga meminta agar petani tidak menanam bibit lebih dalam dari 2 cm.

Yang menarik, Kenji dan para insinyur Jepang itu memberikan contoh pada para petani melalui sepetak tanah percobaan yang disebut shikenden. Tanah ini disediakan di setiap desa, yang kemudian menjadi patokan bagi petani untuk menanam padinya. Mulanya, petani keberatan karena penanaman yang mengikuti garis lurus ini membutuhkan banyak tenaga kerja dan lebih menyusahkan. Lantas, bagaimanakah cara mempengaruhi warga desa?

Cara yang ditempuh adalah memaksimalkan segala bentuk propaganda serta menggelar kampanye secara massif. Selain memanfaatkan sejumlah tokoh nasionalis, Jepang menggunakan segala media indoktrinasi, mulai dari film, radio, surat kabar, serta memanfaatkan sjeumlah kiai di desa-desa. Semua mesin propaganda itu digerakkan untuk mendapatkan tenaga warga desa secara gratis untuk program seperti romusha, perekrutan tentara, serta kebijakan agar petani menyerahkan hasil panen kepada bangsa Jepang.

Masa penjajahan yang singkat itu akhirnya menyisakan trauma dan kengerian, sebab di dalamnya terdapat banyak nestapa dan kesedihan, khususnya pada program seperti kerja paksa (romusha), perekrutan perempuan yang menjadi pemuas hasrat seksual (kerap disebut jugun ianfu), dan tekanan dari kenpetai atau tentara yang bertugaS sebagai pengawas warga desa.

[caption id="attachment_409845" align="aligncenter" width="525" caption="saah satu media propaganda Jepang (foto: thearoengbinaproject.com)"]

1428974608548509403
1428974608548509403
[/caption]

Buku ini membuka mata saya atas banyak hal. Pertama, tenyata penjajahan tak selalu berisikan cerita sedih tentang pertempuran dan nestapa kehilangan keluarga. Ternyata, peperangan juga menyimpan sisi lain, khususnya proses saling belajar, alih pengetahuan, serta proses perubahan di masyarakat. Salah satu jejak yang tersisa dari kehadiran Jepang adalah berbagai inovasi pada sektor pertanian.

Kedua, dalam waktu yang relatif singkat, Jepang mengubah kelembagaan masyarakat desa sehingga mengikuti model dari Jepang pada periode agraris. Kita bisa melihat itu pada lahirnya struktur Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang di Jepang disebut sebagai tonarigumi, yang merupakan unit gabungan dari beebrapa rumah. Kelembagaan ini sengaja dibentuk untuk memaksimalkan kontrol dan mobilisasi dari Jepang demi mendukun perang. Para pemimpin nasional dan ulama digerakkan untuk menggiring kesadaran rakyat agar terus menjadi pendukung Jepang.

Ketiga, dalam situasi penuh indoktrinasi dan tekanan, maka perlawanan bisa muncul. Itu terlihat ketika beberapa kiai di Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, menyatakan perlawanan kepada Jepang. Para ulama itu tak sudi dipimpin oleh rezim yang terus menindas dan menyengsarakan rakyat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun