[caption id="attachment_409113" align="aligncenter" width="600" caption="segelas kopi di pegunungan Mamasa, Sulawesi Barat"][/caption]
IBU itu menyilahkanku untuk masuk rumah. Di rumah yang sederhana itu, ia memintaku duduk di satu dipan kecil. Di dekat situ, ada meja kecil, yang di atasnya terdapat sebuah kitab Injil bertuliskan Mazmur. Di sela-sela pekerjaannya menumbuk kopi, ia lalu membereskan beberapa talang yang berisikan bijih kopi yang baru saja dipetik. Ia lalu menjerang air hingga mendidih. Setelah itu, ia mengisi gelas berisi kopi, yang baru saja ditumbuknya, dengan air panas. Seketika, aroma kopi menyebar memenuhi ruangan.
Ia menyilahkanku untuk minum segelas. Di rumah kecil, di tengah perkebunan kopi di pegunungan Mamasa, Sulawesi Barat, segelas kopi menjadi begitu bernilai. Aku baru saja bertualang menyusur beberapa desa di Mamasa. Aku memotret dan mencatat kehidupan warga desa yang sedemikian memukau batinku. Aku terpukau melihat rumah berbentuk tongkonan, serta lumbung-lumbung padi yang telah menjaga ketahanan pangan warga desa selama ratusan tahun.
Rumah ibu ini menjadi terminal akhir dari perjalananku, beberapa pekan silam. Di tengah hamparan perkebunan kopi, ibu itu memintaku singgah demi melepas lelah. Keramahan ibu itu adalah mutiara yang kutemukan di desa-desa. Anda tak perlu khawatir ketika melakukan perjalanan ke desa-desa. Ada banyak pintu yang selalu terbuka, ada kehangatan yang diberikan dengan tulus, tanpa berharap pamrih. Betapa kontrasnya kehangatan itu dengan keangkuhan warga kota yang selalu curiga melihat orang asing.
Di rumah kecil berbentuk tongkonan, ibu itu lalu menyiapkan kopi yang berwarna hitam dan beraroma wangi itu. Ketika menghirup aromanya, aku serasa diajak bertualang mengikuti perjalanan ibu itu. Dirinya pernah merawat benih kopi, memilih kualitas terbaik, lalu menanamnya di hamparan tanah subur pegunungan. Dirinya telah merawat benih itu hingga akhirnya menjadi tanaman yang berbuah. Lewat tangannya, yang ketika kupegang kurasakan agak kasar, ibu itu lalu menghadirkan segelas kopi yang amatlah nikmat.
Seteguk kopi itu membuatku ketagihan. Aku lalu meminumnya hingga tandas. Ibu itu tertawa terkekeh. Mungkin ia baru pertama menyaksikan seseorang yang meminum kopi dengan lahap. Ia lalu menyodorkan lagi segelas kopi, yang kemudian kuhabiskan dengan tandas. Usai dua gelas, aku lalu melinting tembakau, lalu mengisapnya. Rasanya, seluruh semesta baru saja berbisik tentang kenikmatan kopi. Mungkin Tuhan sedang berbisik tentang makna kenikmatan melalui tangan kekar ibu itu yang menghadirkan kopi di hadapanku. Di tengah kediamanku, ibu itu bertanya,"Gimana rasanya? Nikmat yaa?"
Aku tak tahu harus menjawab apa. Bagiku, kata-kata terlampau miskin untuk menjelaskan seberapa nikmatnya apa yang tengah kurasakan.
[caption id="attachment_409114" align="aligncenter" width="600" caption="kopi yang siap dipetik"]
[caption id="attachment_409116" align="aligncenter" width="600" caption="biji kopi yang telah dijemur"]
[caption id="attachment_409117" align="aligncenter" width="600" caption="saya dan petani kopi"]
Selama tiga tahun ini, aku telah berkelana ke banyak tempat dan negara. Aku menikmati kopi yang disajikan di berbagai tempat, dalam balutan tradisi dan berbagai kebudayaan. Mulanya, aku mencatat kopi organik yang disajikan di Kafe Donkey di Athens, Ohio, adalah kopi ternikmat yang pernah kurasakan. Pernah pula aku meminum kopi nikmat di atas kapal fery di dekat kota New York. Segelas kopi menjadi sahabat ketika dari kejauhan kutatap patung Liberty. Terakhir, seorang teman pernah mengajakku mencicipi sebuah kopi nikmat di sudut Bandara Narita di Jepang.
Namun kopi yang disajikan ibu itu adalah kopi ternikmat yang pernah kurasakan. Kenikmatannya tidak terletak pada rasa dan komposisi kimiawi kopi, yang mungkin sama di beberapa tempat, melainkan pada suasana serta atmosfer perjalanan yang sedemikian menantang. Yang membuatnya nikmat adalah lingkungan sekitar yang amat alami hingga sebuah bijih kopi bisa tumbuh menjadi tanaman yang kemudian mempersembahkan buahnya untuk dicicipi. Sungguh beda rasa kopi ketika dinikmati di satu kafe mahal, di mana banyak orang lalu-lalang, dengan kopi yang langsung diminum di tengah perkebunan. Ada suasana alami yang menjelma sebagai rasa hangat, yang kemudian memenuhi dinding-dinding hati yang beku lalu perlahan mencair.
[caption id="attachment_409118" align="aligncenter" width="600" caption="rumah tradisional Mamasa"]
Aku lalu memikirkan tentang peradaban. Hari ini manusia membangun banyak mahligai indah di berbagai kota. Manusia membangun kemegahan-kemegahan yang lalu dianggap sebagai tolok ukur kemajuan. Manusia lalu memberikan label, harga, serta penanda tentang betapa bernilainya sesuatu. Manusia lalu merasa hebat dengan seberapa mahal sesuatu yang dipegangnya. Namun manusia hari ini alpa. Bahwa ada banyak hal yang selalu tak bisa dinilai dengan uang. Bahwa ada nilai-nilai seperti kesederhanaan, keikhlasan menjalani hidup, serta kehangatan pada siapa pun yang datang melintasi rumah.
Di tengah suasana alami perkebunan kopi itu, aku merasakan indahnya sebuah atmosfer ketulusan, yang ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok kretek. Aku teringat pada seorang penulis Brazil. Ia pernah mencatat bahwa justru pada hal-hal yang sederhana, kita akan menemukan keagungan Tuhan.
BACA JUGA:
Kopi Sumatera, Kopi Termahal di Amerika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H