Namun kopi yang disajikan ibu itu adalah kopi ternikmat yang pernah kurasakan. Kenikmatannya tidak terletak pada rasa dan komposisi kimiawi kopi, yang mungkin sama di beberapa tempat, melainkan pada suasana serta atmosfer perjalanan yang sedemikian menantang. Yang membuatnya nikmat adalah lingkungan sekitar yang amat alami hingga sebuah bijih kopi bisa tumbuh menjadi tanaman yang kemudian mempersembahkan buahnya untuk dicicipi. Sungguh beda rasa kopi ketika dinikmati di satu kafe mahal, di mana banyak orang lalu-lalang, dengan kopi yang langsung diminum di tengah perkebunan. Ada suasana alami yang menjelma sebagai rasa hangat, yang kemudian memenuhi dinding-dinding hati yang beku lalu perlahan mencair.
[caption id="attachment_409118" align="aligncenter" width="600" caption="rumah tradisional Mamasa"]
Aku lalu memikirkan tentang peradaban. Hari ini manusia membangun banyak mahligai indah di berbagai kota. Manusia membangun kemegahan-kemegahan yang lalu dianggap sebagai tolok ukur kemajuan. Manusia lalu memberikan label, harga, serta penanda tentang betapa bernilainya sesuatu. Manusia lalu merasa hebat dengan seberapa mahal sesuatu yang dipegangnya. Namun manusia hari ini alpa. Bahwa ada banyak hal yang selalu tak bisa dinilai dengan uang. Bahwa ada nilai-nilai seperti kesederhanaan, keikhlasan menjalani hidup, serta kehangatan pada siapa pun yang datang melintasi rumah.
Di tengah suasana alami perkebunan kopi itu, aku merasakan indahnya sebuah atmosfer ketulusan, yang ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok kretek. Aku teringat pada seorang penulis Brazil. Ia pernah mencatat bahwa justru pada hal-hal yang sederhana, kita akan menemukan keagungan Tuhan.
BACA JUGA:
Kopi Sumatera, Kopi Termahal di Amerika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H